Bab 8

732 19 0
                                    

Aku sedang mengerjakan jurnal untuk diberikan kepada Mrs. Moore besok, saat telingaku mendengar suara deru mesin mobil memasuki halaman. Kulirik jam di sudut bawah laptopku. Pukul setengah satu malam.

Aku mengernyitkan dahi. Siapa gerangan yang bertamu selarut ini? Apakah itu Darren?

Penasaran, segera aku berlari ke arah jendela di samping kanan ranjangku dan mengintip dari celah tirai yang sedikit terbuka.

Benar. Itu mobil yang dibawa Darren sore tadi.

Kembali kududukkan diri di atas ranjang berseprai biru langit. Berusaha menekuri pekerjaanku lagi, meski kini konsentrasiku telah terganggu. Kira-kira ke mana perginya Darren tadi? Apa ke klub? Apa dia baru saja tidur dengan seorang gadis? Aku menggelengkan kepala buru-buru. Untuk apa memikirkan hal-hal seperti itu?

Tak lama, terdengar suara seseorang menaiki tangga, disusul suara Darren yang memanggilku dari luar, membuatku berjengkit kaget.

"Bubble ...." Langkah kaki lelaki itu berhenti di depan pintu kamarku.

Shit! Manusia itu memang tidak bisa diberitahu.

Dengan enggan kuberanjak dari pembaringan, masih dengan mengenakan piyama satin berwarna putih, kubuka pintu kamarku.

"Ada apa?" tanyaku acuh tanpa memandang wajahnya.

"Sudah makan malam?"

Seketika aku mengangkat wajah. Menatapnya yang tengah menatapku lekat. Lebih tepatnya ke bagian dada. Ke arah kancing paling atas piyamaku yang memang terbuka.

Aku harus berdeham keras demi membuat tatapannya berpaling.

"Manusia normal seharusnya tidur di jam segini," jawabku, lalu menghela napas sesaat. "Tapi, karena aku bukan manusia normal, jadi aku bahkan belum makan malam."

Kulihat dia tersenyum. Bukan senyum miring ataupun senyum menyebalkan yang biasa terpasang di wajahnya, melainkan senyum manis. Aku sampai mengerjapkan mata beberapa kali karenanya.

"Ayo makan. Pelayan sudah menyiapkan makanan untuk kita."

Tanpa menunggu jawabanku, dia berbalik dan kembali menuruni tangga.

Aku mendesah. Memangnya kapan Darren pernah menunggu jawabanku?

Dengan langkah gontai aku mengekorinya sampai ke ruang makan setelah sebelumnya menyambar cardigan abu-abu yang tergantung di capstok samping lemari.

Setibanya di sana, kulihat sudah banyak hidangan tersaji di meja. Dari uap yang masih mengepul, aku tahu kalau makanan itu baru saja selesai dimasak.

Darren duduk di kepala meja, sedangkan aku mengambil duduk di samping kirinya. Mengambil piring spaghetti bolognese, meraih garpu, lalu menyantapnya. Pelayan yang baru datang membawa piring berisi daging kalkun panggang meletakkan beberapa potong daging itu ke piringku.

Salah seorang pelayan berpakaian putih menuangkan wine di gelas Darren. Saat dia akan menuangkan minuman berwarna merah keunguan itu ke gelasku, segera kucegah.

"Maaf, tapi aku tidak bisa minum alkohol," ucapku yang terlihat mengejutkannya.

"Oh, benarkah, Miss? I'm sorry."

Pelayan itu kemudian dengan cepat mengganti teko yang dipegangnya dengan teko berisi jus dan menuangkannya di gelasku.

"Thank you." Aku tersenyum ke arahnya, yang dibalasnya dengan anggukan.

"Anytime, Miss," ucapnya sebelum berlalu.

Setelah kepergian pelayan tadi, kami melanjutkan makan dalam diam. Denting alat makan yang beradu terdengar mengganggu di telingaku. Rasanya sangat canggung ketika makan bersama orang lain, tetapi tak ada yang bersuara.

Mawar Merah Sang CEO Where stories live. Discover now