Chapter 6: Suatu Sore

55 19 0
                                    

"Seseorang yang putus ada di ujung jalan pintu sana, sedang mengais harapan agar tetap bertahan di dunia."
🕛🕐🕒

      Saat pertama kali Renjana menginjak sekolah ini. Ia terkesima akan sistem kasta. Kasta dan kedudukan yang terkuat. Selayaknya komik dan film laga, ia cukup menikmati acara berkelahi merebutkan semua yang bisa Renjana rebutkan di sekolah ini.
Plesetan akan nilai, toh, ini sekolah buangan. Tidak ada yang peduli hal begitu. Renjana cukup yakin ia bisa masuk 10 rangking kelas hanya bermodal rajin masuk.

Payah. Sistem sekolah sampah. Tapi Renjana amat menyukai ini.

Banyak orang-orang bodoh bisa ia manfaatkan dengan mudah bermodal tinju. Tidak masalah babak belur, luka-luka itu akan mengering dan sembuh sendiri. Lagipula siapa yang akan mau sibuk-sibuk memarahinya? Yah, kecuali ibu Mimi wakepsek sekolah menyedihkan ini.

Renjana tertawa terbahak-bahak menyaksikan orang-orang yang ingin menginjak malah terinjak mengenaskan di bawah kakinya.

Lihat? Renjana bisa mengatur banyak hal dalam gengamannya di sini. Luar biasa.

Sejujurnya Renjana tak terlalu peduli akan makian orangtua murid yang ia kalahkan mengenai betapa sampahnya seorang Renjana. Sebab suara-suara di kepalanya lebih dulu menyerukan kalimat tersebut jauh lebih menyakitkan.

Ia sudah cukup kenyang akan tatapan-tatapan murka para setan dewasa. Ucapan melebihi asam pedas rujak.

Kalau ada manusia meneriakinya "Dasar anak kurang ajar."

Renjana cukup mengangkat jari tengah tertawa-tawa sambil berucap nyeleneh "Sama-sama." lalu berbalik pergi dengan amat dramatis.

Yah, hidupnya juga terlalu dramatis semenjak menginjak umur 13 tahun.

Tidak ada yang salah barangkali, mungkin cuma cara pikir Renjana saja yang brengsek.

Renjana juga tidak takut apapun, dan semua orang takut padanya.

Ia jadi bisa semakin semena-mena sepuas hati.

"Nih, rokok." Roy melempar bungkus rokok ke atas meja. Roy itu kakak kelas yang seharusnya sudah lulus tahun lalu, namun tampak masih betah menjadi preman sekolah ini.

Renjana mengacak-ngacak rambut, seragam super berantakan dengan dasi penuh coretan sengaja dibalut pada lengan. Celana abu-abunya robek bagian lutut, hari ini tumben saja rasanya ia ingin memakai sepatu putih penuh bercak debu.

"Baru balik bawah lo?"

Roy terkekeh, menghidupkan korek api, asap mengepul setelahnya.

"Ngapain? Repot amat," jawab Roy menyungingkan senyum miring, rambut gondrong yang diikat pakai karet bekas beli lontong.

"Rokok kemarin? Basi anjir."

Roy menatap jengah.

"Ah elah masbro, rokok basi pun biasanya kau sebat juga ya jing, sok sokan kau."

"Kurang nikmat," ujar Renjana tapi tangannya tetap mengambil batangan rokok, merebut korek api dari tangan Roy secepat kilat menyalakan rokok miliknya. Renjana bersandar pada batang bambu belakang, menikmati desir angin menelusup menyibak dedaun menciptakan suara demersik tak biasa.

"Baru kubeli tadi," ucap Roy sembari membuka minuman prisa seribuan dengan ujung rokok tinggal busa.

"Di bawah?" tanya Renjana.

"Kaga lah, kau kaga liat apa motor kita dirantai ama bu Mimi?"

"Terus lo beli di mana njing?" Renjana mulai emosi.

Monster Ruang 00;00Where stories live. Discover now