Chapter 7: Bertemu

46 17 3
                                    

"Seseorang pernah menutup pintu itu terlalu rapat, hingga pada akhirnya ia melewatkan banyak hal."
🕛🕐🕒

Cahaya dari ponsel menerangi kelam lorong kelas lantai atas, suara rintik hujan seirama derap langkah. Delima mengosok kedua lengan tangan menghilangkan dingin. Embus angin menerpa, berkali-kali menyingkap rok coklat pramukanya. Mengecek jam tangan, Delima mendesah kecil.

Keseringan menonton film horor tengah malam nampaknya meningkatkan nyali Delima untuk menelusuri tiap jengkal sekolah tangah malam.

Ada sesuatu yang membuat gelisah setiap melangkah, entah rasa mengajil apa terlampir pada sudut hati. Sepanjang kilat cahaya ponsel menerangi jalan dari beberapa langkah seolah-olah ada bayang-bayang mengikuti tiap jejak kaki Delima.

Pelan-pelan mengikuti garis lantai marmer putih penuh bercak debu sepatu-sepatu. Delima bergumam tidak jelas, bayangan dirinya yang memanjang agak sedikit mengerikan. Desir suara keras dedaun terdengar, genteng pun berkali-kali lipat lebih berisik dari biasa.

Delima mencoba membawa diri untuk fokus hanya pada satu jalan depan sana, tanpa harus perlu melirik kiri kanan yang berupa gulita mencekam.

Jendela-jendela kelas seolah terketuk-ketuk dari dalam, empas kencang pintu ruang paling ujung mengagetkan. Delima mengatur detak jantung, mencoba tidak peduli, terus berjalan tanpa harus tergesa-gesa. Sebab semua hal yang ingin ia lakukan akan segera berada depan mata.

Garis-garis lantai keramik seakan terlihat bergelombang, entah mungkin karena ia yang belum makan apapun setelah pulang sekolah sampai tengah malam begini atau barangkali karena ia lelah menunggu. Melirik sekilas layar ponsel menampilkan batre 8%.

Menutup rapat bibir, Delima membuka ikatan rambut hitam panjangnya agar mampu menutupi penglihatan samping yang mulai mengelisahkan. Terasa ada banyak pasang mata melirik dalam tiap gelap tempat diam-diam. Siluet-siluet berlarian di ujung penglihatan.

Semua sekolah memang punya cerita legenda horor masing-masing, namun khusus SMA 11 punya legenda luar biasa berbalut fantasi thriller mengerikan.

"Apa sih yang harus ditakutin," bilangnya pada diri sendiri berhenti sejenak mulai mengangkat dagu menatap lurus ke depan. Tersenyum seakan sedang menantang para penghuni dunia sebelah tanpa takut meski jantung jedag-jedug.

Suara hempasan kencang jendela entah dari ruang mana, nampaknya menjadi peringatan tak terduga, Delima menoleh ke asal bunyi menyenter ke segala arah mencoba mencari tahu. Sedetik kemudian berlari tunggang langang menuju tangga belakang sekolah. Tujuan utamanya.

Ujung-ujungnya ia tetap seorang gadis penakut.

Mengatur napas perlahan bersandar pada samping pintu ruang monster itu. Delima memejam mata, merasakan sensasi degub keras cenat-cenut kepala, tangannya sedikit bergetar. Memejam mata mengengam erat ponsel. Nyanyian makhluk malam bersiul-siul dalam kelam hutan bambu belakang sana. Pintu wc siswa yang terbuka rasanya bisa saja memunculkan lengan-lengan hitam panjang menjangkau untuk mengurung Delima.

Tapi lagi-lagi untuk datang ke sini.
Delima sudah menyiapkan hati. Sebab akibat nanti, dan segala hal yang bakal terjadi.

Perihal berkali-kali ia ingin pergi, dan berkali-kali pula ia bertahan sampai esok hari.

Segala hal dalam iris Delima terasa tidak adil.

Jadi daripada mengutuki dirinya akan banyak adegan-adegan menyedihkan hidup.
Delima memilih bertaruh. Taruhan yang ia rasa tak akan merugikan dirinya sedikit pun.

Selayaknya legenda monster dalam ruangan itu.

"Kalau bisa ngalahin monster, satu permintaan akan terkabul. Apapun itu. Tapi kalau kalah, resikonya mati."

Monster Ruang 00;00Donde viven las historias. Descúbrelo ahora