Chapter 17: Bertahan

49 11 7
                                    

"Di dunia ini ada banyak orang diam. Diam-diam sedih, diam-diam menangis, diam-diam kesakitan, diam-diam mati sendirian. Hanya karena mencoba bertahan dari keramaian yang menyakitkan."

🕛🕐🕒

Renjana tertawa, jenis tawa lepas yang mengudara begitu saja sampai ujung matanya berair. Menyadari roti yang ia dapatkan di masa itu adalah roti yang ia belikan untuk Delima. Sedang si gadis tergopoh-gopoh kembali ke tempat semula. Renjana masih susah payah mencoba meradakan tawa.

"Udah?" tanya Renjana.

Delima terdiam meluruh duduk kembali ke posisi semula trotoar, irisnya memejam perlahan, mengatur napas. Bibir kering tampak pecah-pecah, pucat pasi, ia ingin istirahat sejenak saja, sejenak saja dari segala jenis percobaan membahayakan diri.

Renjana senyap menunggu membiarkan angin membelai lembut setiap jengkal kulit kedua mengatakan masih ada sekat di antara keduanya, gemersik dedaunan terselip riuh redam kendaraan beroda, telinga menangkap cakap-cakap mengudara seberang sana.
Tapi keduanya merasa sepi menyelinapi hati.

Tak bisa Renjana pungkiri, barangkali jika sosok Delima yang sok misterius tak mengandeng tangannya malam itu, Renjana benar-benar akan berakhir dalam tanah kuburan. Meski pun ia ingin. Namun entah bagaimana, ia berakhir berjalan dengan pandangan kosong menyusuri setapak hingga lagi-lagi kembali pulang ke rumah yang pintunya sudah terkunci. Renjana menghabiskan malamnya di teras rumah untuk menunggu, barangkali Mama akan kembali mengambil barang yang tertinggal. Sialnya hingga siang menjelang Mama tidak kembali, sehari dua hari hingga berbulan-bulan kemudian.

Renjana benar-benar berakhir ditinggalkan.
Dan ia benci itu.

Tersadar akan realita Renjana kembali berujar ketus.

"Gimana rasanya jadi super hero?"

Delima tak bersuara terlampau asik dengan dunia sendiri, menarik napas dalam-dalam.

"Aku anggap itu pujian."

Renjana terkekeh setengah meremehkan, menatap lamat-lamat tiap jengkal ekspresi kusam Delima.

Gadis itu jelas terlihat tidak baik-baik saja pun serupa akan dirinya yang babak belur dihajar manusia maupun realita.

"Ternyata lo bisa ngelawak juga," cibirnya.

"Dari dulu kau ternyata emang suka nyusahin orang-orang." Delima balik menyindir.

Trotoar malam itu sepi pejalan kaki, deretan ruko-ruko tertutup menyisakan bohlam cahaya sebagai penerang, hanya minimarket itu yang masih terjaga di tengah malam.

Sedang langit gelap di atas sana menampilkan kemilau rembulan menyinari bumi, gemercik kecil bintang terlihat beberapa buah. Tidak banyak untuk bisa dikagumi.

Barangkali demikian.

Tiap kali tangan Renjana memegang knop pintu, darahnya akan berdesir, debar jantung menebak bagian paling menyedihkan mana pula akan mereka tempuh. Rasa-rasanya ia akan lumpuh, bertubi-tubi dia buat lelah dan luluh.

Renjana dan ego tingginya tidak ingin terlihat dengan mudah menangisi segala, meski berkali-kali mencoba menjadi pembunuh diri sendiri.

Ia tak mau menangis di depan Delima, tentu saja. Mana mau ia berakhir diejek-ejek, habis sudah harga dirinya.

"Pintunya nonggol," bilang Delima menunjuk salah satu pintu ruko.

Pintu dan angka, nampaknya akan menjadi momok buruk bagi keduanya.

"Buka sana."

"Dih, kau aja sana!"

"Gue udah tadi, giliran lo lagi."

Monster Ruang 00;00Where stories live. Discover now