Chapter 13: Menjadi jahat

40 18 2
                                    

"Tapi terkadang menjadi baik akan terasa jahat bagi beberapa orang, dan menjadi jahat terasa baik untuk beberapa orang. Aneh, kan?"

🕛🕐🕒

Saat kecil dunia terasa besar dan luar biasa, tidak ada ketakutan yang bersarang lama pada hati kecilnya.
Dari balik orang-orang yang kerap menyakiti, Renjana selalu yakin mereka sebenarnya manusia yang baik. Menjadi baik dan akan baik.

Lalu waktu menyeretnya tumbuh, tidak cukup dewasa sampai bisa dilabeli 'dewasa' belum cukup pula untuk punya kartu identitas sendiri. Tapi tubuhnya tinggi melebihi tinggi orang dewasa.

Perlahan semua di dunia ini terasa kecil dan sumpek, namun di saat bersamaan begitu luas dan besar. Renjana kehilangan arah, tidak ada tempat untuknya pergi maupun kembali.
Semua bermula ketika ia punya nalar dan ketakutan-ketakutan mencengkram tenggorakan, sebab tidak ada manusia yang baik di dunia ini. Ia terhantam fatamorgana dongeng indah dari tidur siang masa kanak-kanak. Ketika terbangun semua tak lebih dari mimpi belaka. Sebab manusia menjadi jahat, akan jahat, dan benar-benar jahat.

Dan Renjana ingin bertahan hidup seperti mereka, menjadi jahat agar bisa tumbuh dewasa.

Maka, ia terdiam menatap lama punggung Delima yang hilang dari pandangan, memaknai lagi kata jahat dan pikiran mengenai orang jahat.

"Siapa yang salah?" tanyanya pada udara hampa.

🕛🕐🕒

Retina Delima terasa sungkar menatap langit dengan matahari, dalam derap langkah setengah tergesa menuruni tangga, berjongkok dengan dahaga yang kering kerontang.

Delima tahu ia mirip gembel perempatan mengais barang busuk tempat sampah, penampilannya jauh lebih kacau bersama seragam pramuka yang tak lagi beraturan. Ia menelik sekitar dengan hati-hati tapi sedetik kemudian menyadari.

Ia seharusnya tidak pernah ada di sini, dan seharusnya orang-orang ini tidak akan mengenalnya sampai ia mati. Barangkali itu adalah berkat miliknya, tidak akan ada yang peduli, pun, tidak akan ada yang tahu siapa Delima. Ia akan berakhir menjadi angin semata nanti.
Jadi Delima tegapkan badan, berjalan lurus berbelok ke belakang sekolah.

Pemandangan pertamanya adalah tembok tinggi menjulang bersama beberapa ilalang menempel serta tumbuhan merambat, beberapa bangku dan meja rusak terpecah belah, juga beberapa pecahan-pecahan lantai semen atau mungkin tembok.

Maniknya bergulir ke sekitar mencari-cari asal ricuh yang menganggu runggu, ia temukan tiga orang tengah asik memukul tertawa-tawa selayaknya orang gila.

Sedang seseorang yang dipukul hingga terguling-guling hanya meringis, merintih, memohon ampun entah untuk apa.

Darah Delima berdesir, menatapi ruang-ruang kosong lantai bawah berupa ruang kosong eskul. Tak berpenghuni.

Delima dapat merasakan betapa ubun-ubunnya memanas tatkala mendongak mendapat pandangan-pandangan dari kelas lantai atas siswa-siswa tepi jendela tengah asik menonton menghiraukan guru tengah mengajar.

Oh, ada guru menilik sebalik jendela, lalu buang muka pura-pura tidak lihat.

Oh, ada lagi satu, tersenyum menatap seseorang yang hampir mati diseruduk tiga manusia yang lebih pantas dianggap binatang ketimbang manusia.

Jantung Delima menderu detaknya terdengar kencang, desir angin tak mampu mengembalikan gelap pikirnya campur aduk.

Lalu dalam selintas bayangan otaknya, ia bergumam 'Apa aku hancurkan aja semua sekolah ini?'

Yang tentu tak mampu ia lakukan dalam sehari, Delima tersenyum kehilangan akal, ia ingin mengumpat, ia menendang, ia ingin melakukan sesuatu untuk mengeluarkan perasaan tidak enak sejak kemarin kemarin tertanam, tapi ia tak sekuat itu untuk adu tinju.

Monster Ruang 00;00Where stories live. Discover now