Chapter 8: Dalam Ruang 00;00

51 18 1
                                    

"Pada ketukan pertama, ia akan tersenyum padamu. Ketukan kedua ia bergegas menyajikan teh. Ketukan ketiga, sihirnya bekerja mengelabuimu. Ketukan keempat, kamu pusing luar biasa. Dan di ketukan kelima, kalian harus menciptakan keajaiban sendiri untuk pergi."
🕛🕐🕒

"Gak usah bercanda deh!"

Renjana terdiam bersandar ke pintu. Keduanya saling pandang dalam waktu lama, menilik rupa satu sama lain, warna kekuningan wajah dalam redup cahaya lilin.

Seragam pramuka Delima yang jauh dari kata rapi tampak mengenaskan, lengannya tergelung sampai siku. Keringat memenuhi kening serta rambut hitam lapek tergerai. Kaus kaki hitam itu tidak lagi sama tinggi.

Sedang seorang Renjana, malah mengenakan seragam putih abu-abu di hari Kamis ini. Kancing kemeja terbuka menampilkan kaos hitam polos, lengan panjang kemeja dilipat sampai siku, rambut berantakan menyisipkan beberapa debu dan sarang laba-laba menyangkut. Celana abu-abu yang telah robek bagian lutut, dan mengenakan sepatu tanpa kaus kaki.

"Oke, terserah," bilang Delima maju hendak menyingkirkan Renjana dari pintu.

"Aku mau pulang," sambungnya mendorong tubuh pemuda itu ke samping secara keras. Namun keningnya makin berkerut kerut tidak mengerti. Gengaman tangan si gadis berusaha berkali-kali memutar ke bawah ke atas secara brutal gangang, sialnya pintu itu tak jua mau terbuka.

"Ngapa lo? Bukain tuh pintu."

Alih-alih menolong Renjana menatap mengejek, sebab ia sudah tahu lebih dulu bahwasanya pintu itu tidak bisa dibuka sejak tadi. Barangkali Delima lupa mengenai ucapan ibu kantin mengenai pintu keramat satu itu.

"Sialan," umpat Delima menendang keras pintu.

Ia merapatkan tubuhnya pada dinding dingin samping, menarik anak rambutnya mulai stress memikirkan keadaan tak mengenakan jika terjebak bersama Renjana berduan dalam ruang mengerikan ini.

Renjana preman sekolah omong-omong, sedang Delima tidak mau menjadi salah satu bahan gosip pedas penghuni sekolah esok harinya. Ini menyebalkan, bulu kuduknya merinding membayangkan jika Renjana nekad balas dendam padanya, mencekik, menusuk, mutilasi.

Atau diperkosa.

Si gadis meringsut menjauh, hidupnya yang tidak tenang semakin tidak karuan saja, ujung jemari Delima mulai mendingin, jantungnya berdebar kian kencang, gemetaran.
Mulai merasakan ketakutan akan keberadaan Renjana.

"Sok ngide amat lo ke sini."

Delima tak menjawab.

"Lo mau apa kalau menang lawan monster?"

Delima mengangkat kepalanya menatap sinis Renjana dari ujung mata, mulai melupakan kembali perihal lilin yang menyala dengan sendirinya.

Gadis itu kembali beranjak menerjang engsel pintu.

"Hidup," bilangnya.

"Heh!" Renjana terperanjat mundur rada ngeri kalau-kalau Delima tiba-tiba kerasukan lalu ia dicekik sadis. Begini-begini haram hukumnya Renjana mati gara-gara seorang gadis. Tidak keren sama sekali.

"Dengan nama Tuhan Yesus-"

Kepala Delima berbalik menatapnya seram.

"Kau kristen?" tanya Delima.

"Islam."

"..."

"Lo hantu kristen?"

Kesal ditanyain begitu, Delima balik menendang pintu kencang melampiaskan amarah, ketakutan, dan kesal berjamaah.
Namun sayang sekali pintu lebih kokoh dari mentalnya, Delima mendengus kembali ke tempat semula menjaga jarak dari seorang Renjana.

Monster Ruang 00;00Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang