Chapter 9: Menuju Rahasia Kecil

53 17 1
                                    

"Harus jadi anak kecil baik hati. Anak baik. Anak baik. Tetapi apa ketika tumbuh dewasa orang-orang boleh jadi tidak baik?"
🕛🕐🕒

Itu adalah rumah kayu berlantai dua, lantai kayu kecoklatan berdecit ketika terinjak.

Ada bekas bunga berserakan tak dibersihkan, agak licin dengan air tumpah. Renjana tidak peduli ia tetap fokus pada Delima yang nampak ragu-ragu depannya.

Rambut panjang Delima bergoyang ketika ia melangkah perlahan-lahan tanpa memicu suara. Renjana memperhatikan bagaimana punggung kecil yang rasanya mudah sekali ia patahkan dalam satu kali bantingan.

Delima menyuruh mengikuti dari belakang, ia akan mengeluarkan Renjana dari sini. Dan katanya ini adalah rumah milik saudara nenek Delima.

Rumah lama yang cukup besar dan terawat baik.

Keduanya kini tengah berada pada lantai atas, bersembunyi pada setiap meja, lemari maupun tempat sekiranya susah dijumpai.

Semburat wajah kebingungan terpantri, Delima terdiam cukup lama menatap salah satu vas keramik besar berdiri pada pojok ruang tengah.

Ruang tengah berisikan kursi-kursi kayu serta meja panjang, beralaskan tikar rumput berwarna hijau. Begitu banyak figura-figura terpanjang di dalamnya.

Tv tabung yang dibiarkan menyala menampilkan siaran jadul, ada bunga kertas di sampingnya. Sedang laci-laci pada nakas lemari tv berisi banyak sekali benda-benda ukiran maupun hiasan terbuat dari kaca.

"Kok?"

Jemari Delima menyentuh guci tersebut hati-hati meneliti sedemikian rupa, menilik apakah itu guci serupa yang ada dalam ingatannya.
Membalik sedikit guna menengok ke bawah bertulisi tahun pembuatan.

"Hah?"

"Hah hoh hah hoh, ngapa lo?" tanya Renjana yang sudah tidak nyaman dengan posisi jongkok memperhatikan sekitar.

Sayup-sayup dari arah luar jendela kayu yakni balkon depan terdengar suara-suara mengalun.

"Kok gucinya gak pecah?"

"Ya karena gak pecah goblok!"

Delima mendelik tak terima dibentak seperti itu, matanya menatap tajam Delima.

"Guci ini harusnya udah pecah!" serunya berusaha menahan volume bicara.

"Gimana lo bisa yakin kek gitu?"

"Karena gucinya aku yang pecahin."

"Huh?"

"Aku pecahin sendiri pake tanganku pas kecil sampai benar-benar jadi berkeping-keping," ucap Delima menyimpan kelam, menatap kedua telapak tangan.

Dia masih ingat bagaimana dengan sengaja tangannya mendorong guci itu dengan kencang ketika kelas 4 SD. Ia sungguh melakukan itu bukan tanpa sebab. Ia tahu sebab aslinya yang tak pernah ia beritahu siapapun.

Sepatu sekolahnya ia gunakan untuk menginjak-nginjak bagian yang belum terbelah. Serpihan-serpihan melenting mengenai kulit kaki, tangannya memunggut-mungut bagian terkecil hingga terluka.

Seolah belum puas dengan itu semua, Delima kecil berniat hendak menyembunyikan bahkan sampai bagian terkecil benda itu.

Sebelum teriakan kencang mengalun, Delima pura-pura terjatuh menangis kencang di sudut ruangan di samping guci pecah.

Sebab Delima kecil tahu pasti bahwasanya itu adalah satu-satunya guci kesayangan tantenya. Tantenya yang menyebalkan itu.

Satu, dua hari ia benar-benar sendirian. Tidak ada yang mau berteman dengan anak nakal kata tante. Tapi Delima bukan anak nakal. Tentu saja bukan, sedangkan sepupu-sepupunya malah kian memaki-maki dan menyuruhnya untuk pergi jangan ke sini lagi.

Monster Ruang 00;00Where stories live. Discover now