Chapter 10: Ruang Asing

51 18 4
                                    

"Beberapa orang terlahir dengan kenyaman dalam keluarganya, beberapa lagi harus bertahan dari keluarga yang berperang tiap harinya. Dan orang-orang bilang hidup itu adil."

🕛🕐🕒

Berantakan.
Baju-baju berserakan di mana-mana, pencahayaan redup dari lampu belajar yang barangkali sengaja dinyalakan. Beberapa buku tergeletak ke atas kasur begitu saja, ada kaus kaki tersangkut atas lemari pun lemari terbuka lebar menapilkan celana-celana dalam laki-laki selayaknya habis kerampokan.

Handuk basah di atas kasur, lebih parah dari kapal pecah, apalagi bau sumpek bercampur bau parfum menyengat.

Delima hanya diam mengamati sekitar menjaga jarak, satu-satunya jendela depan sana menampilkan lampu dari rumah tetangga. Pikiran-pikiran aneh menyerbu otak. Bagaimana kalau seandainya mereka berakhir di rumah seorang psikopat.

Tapi nampaknya Renjana tidak berpikir demikian, sorot matanya menajam, mengatup bibir rapat-rapat, mengepalkan tangan kencang.

Delima tak berani bersuara ia hanya diam memantau bahkan bergerak pun enggan.

Delima tidak ingin tahu mengapa, tapi dari balik seberkas cahaya pintu terbuka. Sayup-sayup isakan terdengar menyatu dengan dingin malam.

Isakan pilu wanita kesusahan mengatur sesak dada.

Ada gemercik luka pada iris Renjana, Delima tahu itu.

Gadis itu memilih bungkam, menikmati pengap ruang yang rasa-rasanya bisa menengelamkannya ke dalam tumpukan-tumpukan baju berserakan.

Delima tersentak ketika Renjana menarik gangang pintu itu, masih tidak mengerti dengan apa yang terjadi.

"Ren," cicitnya.

Delima memilih mengikuti langkah tegap Renjana meski ragu-ragu.

Punggung itu terlihat jauh lebih rapuh dari milik Delima, seakan ada tumpukan berkilo-kilo beban meniban. Delima menelan ludah menuju bagian rumah asing itu.

Suara nyala vidio game mengisi hening panjang isakan.

Ada seorang anak laki-laki sibuk mengotak-atik stik PSnya asal, meski layarnya berkali-kali menampilkan kalimat game over.

Sebaliknya adalah ruang dapur berbatas layar putih tipis, ada serakan perabotan menyebar ke lantai seorang wanita terduduk di kursi menutup mukanya tersedu.

Seorang pria dewasa dengan amarah membuncah penuh kerutan kening. Wajah memerah dan tangan mengucur darah penuh kebencian.

Delima tidak tahu mengapa Renjana hanya berdiam diri memperhatikan ke tengah ruang tanpa takut ketahuan.

"Bukan begini seharusnya," ucap pria dewasa di dapur.

"Menangis pun tidak akan mengubah apapun." Sambungnya penuh penekanan suara berat yang sanggup menjadikan gravitasi ruangan sesak.

Delima menelan ludah.

Renjana menyeringai kecil, seakan tahu apa yang akan terjadi berikutnya.

Teriakan kencang yang bersahutan.

"Ya! Ini semua salahku mas! Semuanya salahku! Salahku!" sang wanita menjerit-jerit, tubuhnya bergetar dengan mata nyalang menantang.

"Kau sudah tahu itu," balasnya.

"Aku juga tidak ingin." Kalimat serak yang menganjali rongga dada.

Seakan paham apa frasa selanjutnya, Renjana menengadah menatap langit-langit rumah, mengusir rasa pedih memenuhi perut.

Monster Ruang 00;00Where stories live. Discover now