Chapter 19: Berpindah

27 8 3
                                    

"Hidup itu berpindah, katanya. Namun jika perpindahan bisa sesakit ini aku tidak ingin hidup."

🕛🕐🕒

"Apa rencana kau?" tanya Delima.

"Nanti gue kasih tahu."

Delima memincing curiga, ia tak bisa bertarung,adu tinju, atau segala semacam itu. Lagi pula ia tak pernah mencoba membunuh seseorang kecuali dirinya sendiri, itu pun gagal. Sejauh ini sih.

"Yang ini gampang," ucap Renjana seakan bisa membaca kekhawatiran Delima.

Delima hanya pasrah berjalan lunglai menduduki diri tepi jalanan, sedang Renjana asik marah-marah tak tentu.

Delima memilih termanggu memperhatikan seluk beluk perumahan sekitaran nan lengang orang lewat. Selalu malam.

Pintu milik Renjana selalu membawa mereka terjebak dalam gelap. Delima terlalu lelah bertanya mengapa, jadi ia memilih diam saja menjadi bagian kerikil jalanan tersorot lampu di salah satu rumah perkomplekan sunyi sepi.

Membiarkan Renjana yang sedari tadi menatap tajam dengan kening berkerut-kerut sampingnya mengurutu tak jelas. Entah apa yang pemuda itu pikirkan.

Namun yang pasti, bagi seorang Renjana rumah lamanya adalah tempat paling ia hindari. Sialnya entah bagaimana, kakinya selalu berhasil menemukan rumahnya tanpa ia sadari.

Rumah yang membawa mala petaka paling menyebalkan berhasil membuat Renjana sedikit kalut tak nyaman, hatinya terlalu keruh tiap kali harus menerus mengingat betapa lusuh jiwa yang terkuras habis dalam rumah itu.

Renjana lelah.

Jadi ia tubrukan saja tubuhnya penuh bekas luka itu ke tepi jalanan, berbaring memilih menghitung beberapa bintang langit. Ia ingin istirahat sejenak saja sambil mengumpat.

"Bapak sialan," ucapnya pelan menembus angin malam, Delima hanya menatapnya tak berminat.

Hidup harus berpindah.
Itu konsep yang Renjana pelajari dari Nenek penjual soto sekolah lamanya, di kota ini.

Berpindah.
Bukan perihal pindah ke kota satu ke kota lain selayak yang sering Papa Renjana lakukan tiap tahunnya.
Bukan pula tentang teman-teman Renjananya yang harus ikut ditinggalkan hingga rasanya memuakkan. Dan berakhir Renjana tak punya siapa-siapa.

"Hidup itu berpindah, nak. Dari hari sebelumnya ke hari berikutnya." Begitu kata Nenek penjual soto kepada Renjana.

"Semua orang harus berpindah."

"Kenapa?" Renjana dengan penampilan rock n roll, memang mencolok mata, rambut panjang, dengan jaket hitam serta celana robek sana-sini.

"Karena Tuhan mengaturnya seperti itu."

Soto langanan yang buka pagi itu, selalu mengepulkan harum wangi mengundang rasa lapar. Penjualnya Nenek dengan kerutan usia terukir tiap ceruk kulitnya, tapi senyumnya hangat. Dengan apron serta tangan kadang gemetar menuangkan kuah panas pada mangkuk. Ia berusaha keras mendorong gerobak hingga pinggir persimpangan. Kata Nenek anak-anaknya sudah menikah semua, suaminya meninggal dua tahun lalu. Rumah mereka selalu sepi. Dan ia tidak suka kesepian. Meski punya uang cukup untuk kehidupan sehari-hari, sunyi mencengkam rumah tak cukup hanya diusir oleh suara nyala televisi. Jadi Nenek memilih menjual soto. Makanan kesukaan anak-anaknya. Makanan yang kerapkali diminta suaminya dimasakan ketika jatuh sakit.

"Kalau kita gak pindah?" tanya Renjana.

Lalu Nenek hanya tersenyum membuka dan menaruh kaleng konguan, berisi renginang ke atas meja.

Monster Ruang 00;00Where stories live. Discover now