Chapter 11: Membawa Kabur

47 17 6
                                    

"Tidak ada yang pernah bertanya sebelumnya. Apakah masalah yang ditinggalkan akan berakhir begitu saja, atau malah balik mengejar-ngejar untuk segera diselesaikan?"

🕛🕐🕒

Serpihan bintang berserakan di langit kelam, sayup-sayup desir angin memecahkan keheningan. Renjana dan seragam putih abu-abu penuh kekacauan.
Delima dan seragam pramuka berantakan.

Keduanya terdiam duduk pada tepi jalanan raya. Lalu lalang kendaraan yang sedikit ramai dari jalan sebelumnya.

Lampu jalanan menyala terang namun entah mengapa tidak berhasil mengusir gelap dari mata Renjana.
Delima menyaksikan diam-diam, jemari si pemuda sedikit bergetar, entah kedinginan atau kelelehan bertarung. Dia tidak berani bertanya banyak.

Delima memilih memperhatikan riuh kejauhan orang-orang, menebak-nebak tempat pemberhentian setiap orang malam ini. Ke arah mana setiap orang pulang dan pergi.

Membayangkan bahwasanya di salah satu mobil lewat itu, ada ia dan tujuan menuju rumah hangat penuh kenyamanan. Pasti menyenangkan menjadi bagian keluarga yang utuh. Pasti menyenangkan tidak terjebak pada kenangan-kenangan buruk. Pasti menyenangkan mendapatkan cinta dari anggota keluarga.

Besar dan tumbuh dari keluarga kacau, Delima tidak pernah mahir memaknai arti kata cinta. Pun Renjana termenung terbelenggu memperhatikan segala. Sejak kecil ia tak paham betul apa itu kasih sayang beserta tetek bengeknya.

Sangat melelahkan kalau dipikir-pikit berkali-kali, hari-hari tak lebih dari sendu berlanjut lalu berlalu membawa kelabu.

Begitu banyak awan atas kepala keduanya mengeluarkan hujan imaji mengantarkan sensasi dingin fana menjelajari tubuh. Begitu memekakan guntur pada benak bersahut sahut memecahkan otak.

Selalu ada badai dalam pikiran.
Selalu ada bencana yang tak kunjung selesai mencapai pelangi.

Dan mereka tidak tahu mengapa.

"Anak perempuan yang kita liat tadi." Delima mengantung ucapan masih menatap lurus ke depan.

"Aku."

Renjana mengernyit mendengar kata berikutnya.

"Anak perempuan itu aku."

Setelahnya sunyi panjang, Renjana tampak tak mau mengungkit kejadian itu, baru pertama kali dalam hidupnya melihat seseorang yang kejang-kejang menyeramkan pada balkon rumah asing.

"Bodoh ya?" tanya Delima menengadah merasakan deru menerpa, mencoba melihat detail bulan di angkasa. Ada banyak luka pada matanya, bertahan lama berusaha sembunyikan dari sebalik ketidak peduliaan.

Semasa kecil Delima tiba-tiba terbangun di rumah sakit, memakai infus dan masker oksigen.

Satu dua jam, Delima kecil terdiam menatap flafon putih rumah sakit. Merasakan setiap ngilu, kering tenggorakan, perasaan tidak nyaman, pusing serta nyeri menyertai.

Derap langkah mendekat, dan Delima kecil tidak sabar melihat siapa yang datang.

Wajah khawatir menatapnya tajam, alih-alih sebuah tangisan serta kalimat-kalimat manis. Delima kecil hanya mendapat torehan luka baru, menghancurkan hatinya menjadi lebih-lebih kecil.

"Anak anjing ini bikin panik aja."

Rangkaian kata-kata menusuk jantung mengeluarkan cairan bening air mata.

"Kalau langsung mati tak apa, kalau sakit begini biaya rumah sakit mahal. Menyusahkan."

Dari banyak buku cerita yang Delima baca, sosok seorang nenek dideskripsikan sebagai seseorang berhati hangat penuh kasih sayang, bersuara lembut, hobi memasak, penuh sayang.

Monster Ruang 00;00Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang