16. Kejutan paling berharga

17.5K 1.5K 92
                                    

Kalau saja Septian tidak terus-terusan memborbardirnya dengan pesan-pesan  ancamannya, malas rasanya Seno mendatangi rumah ini. Seharian ini mood nya jelek sekali setelah Shana menolak ajakan jalannya. Langkahnya lunglai setelah turun dari mobil untuk menuju pintu rumah keluarga Shana.

Di halaman depan, terparkir rapi motor yang biasa dikendarai Shana ke kampus, benak Seno langsung bertanya-tanya. Kemungkinan besar gadis itu pergi dengan kendaraan milik temannya. Dan kemungkinan besar lagi temannya itu adalah seorang lelaki.

"Assalamualaikum."

Seperti biasa, setelah mengetuk pintu dan mengucap salam, Seno tidak perlu menunggu pemilik rumah untuk membukakan pintu. Dia langsung masuk saja, sudah mirip di rumahnya sendiri.

Anehnya saat pintu dibuka, rumah dalam keadaan sunyi. Apa Septian sedang tidur ya?

Baru Seno mendudukkan dirinya di sofa depan televisi saat terdengar suara ramai dari arah dapur belakang.

"Happy birthday to youuu happy birthday to youuu..."

Suara sumbang Septian yang paling kencang terdengar. Seno mengerjapkan matanya untuk memastikan yang ada di depannya saat ini benar-benar terjadi, bukan hanya khayalannya saja.

Shana membawa sebuah tumpeng di tangannya, berikut Septian yang memegang sebuah kue kecil dengan lilin menyala. Di belakang kakak beradik itu ada Rini yang juga ikut bertepuk tangan, menyanyikan lagu ulang tahun untuknya.

"Tiup lilinnya tiup lilinnyaa..." Septian mendekati pria yang masih terperangah itu. Membawa kue beserta lilin menyala ke depan mulut Seno. "Ayo Mas keburu meleleh ini."

Lagi, dalam sekali hembusan api dari lilin itu padam. Ia memandang penuh haru pada 3 orang yang berdiri dengan senyuman di bibir. Ini kejutan terindah dalam hidupnya selama 42 tahun.

"Yeay! Selamat ulang tahun ya Mas Seno. Semoga sukses selalu dan lancar pekerjaannya." Septian menyalami tangan pria yang dulu pernah sangat dibencinya itu.

Giliran Rini yang maju dan memeluk singkat tubuh Seno yang masuh duduk penuh haru. Sejak kali pertama Bhakti Aryaseno mendatangi rumahnya untuk menjenguk Shana yang baru kecelakaan, sosok Seno mengingatkannya pada almarhum adiknya yang wafat saat masih berumur 15 tahun. Mungkin jika adiknya masih hidup, maka adiknya akan seumuran dengan Seno.

"Sehat selalu ya Seno, jangan terlalu banyak pikiran."

"Terima kasih Bu, Septian."

"Mbak...??" Rini menoleh pada putrinya yang masih mematung dengan tumpeng di tangannya. "Nggak ngucapin Pak Seno-nya?" Shana tahu ada nada godaan dalam pertanyaan Ibunya itu.

"Shana sudah ngucapin duluan Bu, udah tiup lilin juga tadi di kampus." Seno yang menjawab. Bibirnya terkulum melihat wajah Shana yang ah susah dijelaskan.

"Kalau gitu ayo kita makan tumpeng!" Ucap Septian kelewat bersemangat, seolah yang sedang berulang tahun adalah dirinya. "By the way Mas, for your informstion aja nih, semuanya yang masak Mbak Shana. Masaknya pakai cinta loh."

"Oh iya? Terima kasih kalau begitu." Bibirnya terkulum, menahan detakan tak karuan yang timbul setelah mengetahui, gadis yang seharian ini membuat mood nya uring-uringan ternyata seperhatian itu.

Mereka berempat menempati kursi masing-masing, dengan sebuah tumpeng yang alakadarnya itu di tengah-tengah meja makan.

"Ayamnya tolong Shan," Seno mengulurkan piringnya yang sudah berisi nasi kuning. "Terima kasih." Ucapnya setelah mendapat apa yang dia inginkan.

Entah Seno saja yang merasa atau yang lain juga, Shana terlihat pendiam sore ini.

"Gimana Mas enak nggak?" Septian bersemangat mengambil lauk-lauk yang mengelilingi tumpeng.

ADVOKASI Where stories live. Discover now