Part 3 : Philip, My First Family

1.7K 151 8
                                    

"Gabriel, kerjakan nomor 2 dan 3" Pak Juliet yang terkenal sebagai dosen bengis menyuruhku secara mendadak untuk mengerjakan soal yang ternyata soal yang sengaja dipilih sebagai soal tersulit.

Dengan ketakutan aku mencoba menjawab semampunya karena kupikir tidak ada salahnya melakukan kesalahan pertama toh disini kita sama-sama belajar. Diluar dugaan ternyata Pak Juliet malah menghinaku secara frontal didepan kelas, dan saking frontalnya sampai-sampai aku tidak cukup kuat untuk membayangkannya sendiri apa yang tadi dia katakan. Bahkan tidak hanya Pak Juliet saja, hampir semua dosen melakukan hal yang sama padaku membuatku merasa semakin sendiri saja. Selain karena cuma aku satu-satunya yang bermata hitam mungkin cuma aku saja satu-satunya mahasiswa yang dibenci dikampus ini entah kenapa, apa karena hanya aku disini yang bermata hitam? Entahlah.

Pukul sepuluh mahasiswa lainnya banyak yang bermain diluar kelas, jajan dikafe atau sekedar pacaran dan baca-baca buku dibangku taman. Aku disini hanya duduk sendirian didalam kelas dan hanya ditemani Laptop, HP yang dicharge dan beberapa buku tulis. Aku memang dikenal sebagai orang yang menyukai kesendirian. Saat itulah seseorang menghampiriku didalam kelas.

"Hei, kau tidak keluar?"

"Tidak terima kasih" aku menjawab seadanya dengan wajah datar dan mata masih fokus kearah layar monitor.

"Sendirian saja memangnya tidak apa apa?"

"Asal koneksi disini tidah pernah bermasalah, ya aku baik-baik saja." 

"Aku Philip." dia menawarkan tangannya bermaksud untuk berjabat tangan.

"Gabriel." masih dengan wajah datar aku membalas jabatan tangannya dan menyebut namaku seadanya.

"Jadi Gabriel, ini tawaran terakhirku. Mau ke kafe?"

Aku menjawab dengan senyum yang mulai merekah "Aku masih banyak urusan disini jadi tidak terima kasih, mungkin aku akan terima tawaran itu jika masih berlaku saat istirahat kedua nanti setelah beberapa ketikan-ku ini selesai. Lagipula kita sekelas, iya kan?"

"Memangnya kau mengetik apa?"

"kau akan tahu nanti."

Philip berlalu meninggalkanku sendiri dikelas dengan senyumnya yang tidak memudar sedikitpun padaku.

"Tawaranku selalu berlaku setiap waktu kapan pun kau mau." Ucapnya lembut. 

***


"Selamat siang anak-anak."

"Siang madam...!" seisi kelas menyambutnya dengan serentak.

"Perkenalkan, saya Madam Veronica dan saya mengajar disini tiap senin dan kamis. Sebelum kita mulai mata kuliah hari ini bagaimana kalau kita atur dulu posisi duduk kalian saat ini. Ada yang keberatan dengan keputusan saya?"

"Tidak madam!" seisi kelas meresponnya dengan senyuman, sepertinya mereka semua setuju dengan kebijakan Madam Veronica. Iya, Madam Veronica. Si ibu mertua hasil pernikahanku dengan Sevilla ketika dia masih hidup. Aku senang karena dia mengajar dikelasku, namun disisi lain aku juga mulai takut sendiri karena khawatir dia akan tahu kalau sebagian dosen dan mahasiswa lainnya membenciku, yang mungkin karena mata hitamku.

kulihat sekelilingku bangku-bangku yang tadinya diisi oleh satu mahasiswa, dua mahasiswa, tiga mahasiswa kini diisi dengan hanya dua mahasiswa tiap bangkunya. Terlihat pula Philip memandangku sambil menepuk-nepuk kursi disebelahnya, dia menawariku untuk duduk sebangku dengannya. Tidak ada pilihan lain, maka aku beralih posisi duduk dan pindah ke dekat Philip. Sembari menunggu proses absensi selesai, Philip mengajakku bicara.

"Hallo lagi bung." Philip menyapaku dengan berbisik.

"Hai, maaf kalau kehadiranku mengganggumu."

"Eh sudahlah. Mulai sekarang dan seterusnya, kau harus duduk disini ..."

"... dan kuharap kau tidak terganggu denganku."

"Tentu saja tidak, aku malah sejak tadi ingin agar kau duduk disini. Kulihat dari tiga mata kuliah tadi pagi tidak ada satupun yang bisa kau mengerti. Aku bisa membantumu jika kau mau."

"Ya boleh, terima kasih." aku tersenyum atas sifat ramahnya dan dia membalas senyumanku dengan menepuk-nepuk punggungku sambil tersenyum, beberapa saat kemudian Madam Veronica tersenyum kearah kami berdua.

"Saya harap kalian akan serius dengan mata kuliah saya, termasuk kalian berdua yang ada disana." ujarnya seraya menunjuk kearah kami.

"Siap Madam ... !" aku dan Philip menjawab dengan lantang. Kurasakan ada sedikit harapan ketika aku harus duduk sebangku dengan salah satu mahasiswa terpintar dikelasku, apalagi dia sendiri yang menawarkan kebaikannya padaku.

"Philip."

"Ya kenapa Gabe?"

"Istirahat kedua nanti kita berdua harus ke kafe, dan kali ini aku yang bayar."

"Akhirnya kau mau juga, tapi tidak usah teraktir segala."

"Tidak apa-apa, ini kemauanku sendiri, mau ya?"

"Baiklah saudaraku." Philip mengusap-usap kepalaku. Senang rasanya ada satu orang baik disini yang memanggilku dengan sebutan 'saudara'.


Bersambung ...


Nephilim UniversityWhere stories live. Discover now