Part 5 : Hard Life behind Academic Activity

1.5K 137 1
                                    

Malam hari telah tiba. Aku dan para teman sekamar baru selesai merapikan perlengkapan masing-masing dan berbagi wilayah posisi tidur. Ada tujuh kasur tersedia dan aku dapat dibagian dekat dengan jendela. Dua kasur lagi belum terisi, setidaknya sampai ada dua penghuni baru yang bisa saja dipindahkan ke kamar kami.

"Yap, sekarang tinggal menikmati mimpi indah." Josiah tersenyum sembari menghempaskan tubuhnya ke kasur.

"Aku masih mau menikmati susu coklat panas ini, kalau kalian mau masih banyak dibelakang sana." Joshua menawari kami.

"Sebaiknya aku langsung tidur saja." aku juga ikut menghempaskan tubuhku ke kasur

"Aku juga mau tidur." Petrus sudah lebih dulu menyembunyikan tubuhnya kedalam selimut. Karena susunya sudah dihabiskan Joshua juga ikut berbaring di kasurnya.

"Cepat sekali." Josiah mengejek Joshua.

"Berisik, diam!" Joshua membalasnya dengan melempari bantal. Setelah selesai membaca buku, Gilbert ikut membaringkan tubuhnya diatas kasurnya dan mulai berdoa. Suaranya terdengar oleh kami semua walaupun tidak begitu keras.

"Tuhan di surga, terima kasih atas mukjizatmu selama ini. Izinkan kami untuk terlelap menikmati mimpi indah yang Kau berikan, berkatilah kami saat tidur dengan mengutus para malaikatmu untuk melindungi malam indah kami, dan berkatilah kami saat terbangun dihari esok dengan sinar mentari yang cerah dan wajah-wajah ramah. Izinkan kami menikmati kebahagiaaan sebagaimana kebahagiaan yang pernah Engkau rasakan dan Engkau bagikan pada anak-anakMu. Dalam namaMu Tuhan kami berdoa ..."

"Amiiin." kami menjawab serentak doa Gilbert. Dia tersenyum menatap kami sebelum kami tertidur, aku pun tersenyum menatapnya karena harus kuakui dia orang yang lumayan religius.

Malam ini aku bermimpi. Aku dan Sevilla tengah berkendara menikmati indah dan hangatnya mentari sore. Hingga sebuah truk menabrak kami ketika kami melintasi sebuah perempatan yang sepi. Sebelum tewas, Sevilla menggenggam erat tanganku dalam keadaan berlumuran darah.

"Ingatlah selalu sayang, aku akan lakukan apa saja asal aku selalu berada didekatmu." ucapnya.

"Tidak sayang, kumohon jangan tinggalkan aku, Tuhan disurga, tolong jangan Kau ambil dia dariku secepat ini." beberapa saat kemudian aku pingsan disana

Seketika langit menjadi gelap. Hanya ada aku yang terbaring sendiri di perempatan ini. Tiba-tiba aku dikejutkan dengan sosok yang mengerikan. Berpakaian seperti rahib namun warnanya hitam pekat, wajahnya cukup tampan dengan rambut panjang menjuntai hingga sedikit menutupi bahu, dengan sepasang sayap berwarna kelam dibelakang tubuhnya namun bermata putih pucat dengan ekspresi senyum yang mengerikan.

"Siapa kamu!?" aku menyanyainya namun yang ditanya malah menyeringai.

***

Sore hari setelah pulang kuliah, aku dan teman baruku Steward tengah menikmati spagethi di kafe. Philip bilang dia akan menemui kami setelah tugas laporannya selesai. Namun sudah hampir setengah jam, dan dia masih belum bergabung juga dengan kami.

"Kau beruntung ya bisa masuk kelas Archangel." Steward memujiku karena menurutnya kelas Archangel adalah kelas lingkup ketiga yang paling difavoritkan. Steward adalah mahasiswa dari kelas lingkup kedua, Kelas Virtues.

"Sebenarnya kau yang lebih beruntung, kudengar anak anak Virtues ahli dalam paduan suara."

"Tidak juga, aku tidak terlalu tertarik pada paduan suara, karena aku sedang sibuk di band, kebetulan band kami di ormawa kesenian kekurangan penyanyi, kau mau gabung?"

"Entahlah, aku pertimbangkan dulu karena aku belum biasa jadi vokalis." Jawabanku membuat Steward bergelak tawa, hingga kami terdiam tiba-tiba ketika para anak-anak dari kelas The Powers datang dan duduk mengerubungi meja kami.

"Kalian mau apa?" Steward terlihat panik dikerubungi mereka ketika dua dari mereka mulai mencubit pipinya dan mulai memoles jari mereka ke wajahnya dengan selai kacang. Yang lainnya malah mentertawakannya.

"Ehem." deheman-ku membuat mereka berhenti dan mulai menatap tajam kearahku.

"Oh ya aku lupa ada kau disini." salah satu yang mengerjai Steward mulai memandang rendah kearahku.

"Kau yang kemarin membuat Janax kesal karena sudah membantu Philip, iya kan? semakin sulit saja mengontrol emosi Janax kau tahu itu kan." yang lain ikut menyahut.

"Semakin sulit pula aku mengontrol emosiku, aku yakin kalian sudah tahu." tanganku menggenggam erat sebilah garpu bersiap untuk menyerang mereka hingga salah satu pengawas mendekati kami.

"Apa ada masalah disini?" dengan ekspresi keras, pengawas itu menatap tajam kearah kami. Para anak-anak The Powers pergi meninggalkan kami berdua satu persatu hingga yang terakhir dari mereka membisik kearahku.

"Sampai jumpa di lapangan football." aku sama sekali tidak takut mendengar ancaman itu. Aku juga semakin kasihan melihat keadaan Steward sekarang.

"Kau baik-baik saja?" aku menawari Steward sekotak tisu.

"Ya tidak apa, mereka para The Powers memang biang rusuh disini, ngomong-ngomong kau sadar dengan yang kau lakukan? kau bisa terbunuh karena mereka semua badannya besar-besar." Steward mencoba memperingatiku sambil mengelap wajahnya.

"Entahlah, tapi menurutku seseorang harus mulai bersikap tegas pada mereka karena semakin didiamkan mereka hanya akan semakin melunjak."

"Ini semua tentang kau yang ingin membalas mereka untuk Philip kan?" Aku tidak menghiraukan pertanyaan Steward dan langsung meninggalkan meja untuk kembali ke asrama.

Asramaku memang berdekatan dengan lapangan football yang mereka maksud, aku tidak terkejut kalau mereka sudah tahu di asrama mana kamarku saat ini. Philip sendiri juga paling sering dibully mereka bahkan saat masa orientasi dulu. Aku semakin iba melihat keadaan Philip dan para 'geekers' lainnya, apalagi mereka selalu tersenyum ramah tiap kali berjumpa denganku. Mereka semua memang para mahasiswa berjiwa kuat karena masih bisa tabah menerima perlakuan buruk para keparat The Powers itu.

Saat aku melangkah masuk ke pintu besar gedung asramaku, saat itulah aku melihat mereka di lapangan football tengah membully Philip, lagi. Baiklah cukup, aku mulai muak dan kuputuskan untuk bertindak. Aku berlari memburu mereka tanpa peduli aku akan masuk BK atau tidak setelah urusan ini selesai.

Bersambung ...


Nephilim UniversityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang