Part 15 : Nightmare

1.4K 125 7
                                    

Kutatap wajah indah itu yang menatapku dengan tatapan innocent. Senyumnya terlihat polos dan mempesona membuatku merasa gemas olehnya. Aku dan Sevilla saat ini sedang berbaring ditengah lebatnya ilalang yang tumbuh di padang luas yang asri ini. Tatapan mata kami saling melekat satu sama lain.

"Katakan padaku kenapa kau selalu muncul di mimpiku?"

"Kau sudah lupa dengan janji pernikahan kita? aku akan lakukan apa saja yang diperlukan agar aku selalu bisa berada didekatmu."

"Tentu saja aku masih dan selalu ingat, tapi kenapa hanya di mimpi? tidak bisakah kau kembali ke hidupku saja?"

"Suatu hari nanti kau akan mengetahui sebuah rahasia, dan setelah kau mengetahui semua rahasia ini. Akan terjadi sesuatu, sebuah hal besar yang akan melibatkan umat manusia. Tapi aku yakin ada jalan untukmu agar bisa melalui ini semua, dan saat kau berhasil aku akan disana untuk menyambutmu dalam pelukanku." Air mata Sevilla mulai berlinang diantara ujung mata sipit yang indah itu.

"Aku merindukanmu sejak kau pergi dari hidupku."

"Aku juga merindukanmu, suamiku."

Kucium bibir mungil itu, tanpa sadar kami larut dalam suasana penuh gairah. Dengan penuh cinta kunikmati saat-saat paling berkesan yang sudah lama tak kurasakan ini hingga tiba-tiba kurasakan ada yang aneh di sekujur tubuhku, terutama mataku.


***

Kubuka mataku perlahan, kurasakan selimut tebal ini masih menghangatkan tubuhku diantara udara dingin yang menjalar dari pintu teras kamar yang terbuka. Sesaat kusadari kalau tadi itu aku bermimpi lagi tentang Sevilla dan ketika aku mulai bisa merasakan tubuhku yang mati rasa sesaat, aku mulai bangkit dari kasurku mencoba untuk menutup pintu itu.

"Hey jangan dikunci!" ada suara kecil yang terdengar serak dari pinggir pintu itu, kulihat Jace sedang menikmati udara malam sambil merokok.

"Jace, kenapa belum tidur dan sedang apa pakai memojok dipinggir teras segala?"

"Aku hanya mencoba melanjutkan belajar." Jace memperlihatkan tiga buah buku padaku.

"Ditengah udara dingin begini? Sambil merokok?"

"Mau coba sebatang?" Jace menawariku sebatang rokok.

"Tidak terima kasih, aku ambil La Martinique-mu saja." aku mengambil salah satu dari tiga botol minuman didekat Jace. Aku duduk didekat Jace yang saat ini melongo melihatku sambil merapikan ketiga bukunya.

"Katakan padaku ini bukan soal Sevilla di mimpimu lagi."

"Ya, ini soal dia yang lagi-lagi muncul, tapi kali ini tanpa mimpi buruk."

"Baguslah kalau begitu, lagipula itu kan cuma mimpi buruk yang mungkin dipengaruhi oleh kesehatanmu."

"Ini tidak ada kaitannya dengan kesehatanku. Kau lupa ya, aku pernah bermimpi bertemu dengan Sammael jauh sebelum Sammael dan para tentara iblisnya masuk ke kampus?"

"Tapi kali ini tidak ada Sammael-nya kan? berarti tidak ada hal buruk yang akan terjadi." ujar Jace enteng.

"Kurasa kau salah lagi, dalam mimpiku Sevilla memperingatkanku tentang sebuah hal besar."

"Yap, Ujian Semester yang akan diawas oleh Legiun Prajurit Langit dari penjuru angkasa, dan kudengar pengamanannya sangat luar biasa ketat" Jace menyengir sambil menghisap puntungnya.

"Bahkan lebih buruk dari itu." melihat wajah cemasku, Jace menatap dalam sepasang mataku dengan matanya yang sayu dan memerah.

"Hey Gabe, kau tidak perlu khawatir akan sesuatu yang terjadi nantinya. Kau hanya perlu curhat pada kami dan kami akan membantumu seperti biasanya. Kau lupa ya? selama ini masalah kita selalu kita hadapi bersama, dan tidak ada yang tidak selesai dengan hasil bagus."

"Ya kau benar, mungkin aku hanya terlalu khawatir."

"Lihat sendiri kan? dan berhubung rokokku sudah habis dan kau sendiri hanya mengambil botolku lebih baik sekarang kau tidur saja lagi karena aku juga mau tidur."

"Oke." sambil menenggak botol itu, aku membantu membereskan sisa-sisa rokok Jace sebelum kembali ke kamar untuk tidur.


Beberapa saat terlena dalam suasana nyaman diatas kasur dalam keadaan tubuh terbalut selimut dan dikelilingi bayang-bayang halusinasi yang berloncatan diotakku, kini aku menatap sekitar tempat ini. Pemandangan ini sangat mengerikan dari yang kubayangkan, aku yakin bocah saja pasti akan menjerit nyaring jika melihat ini.

Kutatap sekelilingku, aku berada disebuah padang gurun berlangit kelam yang dipenuhi oleh begitu banyak gelimpangan mayat dan potongan tubuh yang terputus, ada begitu banyak tombak, pedang, gada, kapak, panah, bendera dengan simbol malaikat, panji-panji dengan simbol salib, semuanya berceceran dan tertancap tegak mencuat diantara jutaan mayat berbaju zirah dan bersayap besar dipunggungnya.

Yang lebih membuatku terperanjat ialah diantara mayat-mayat malaikat ini ada juga yang ikut terbaring disini yang tidak lain adalah teman-temanku sendiri. Dengan berlinang air mata aku berlutut dan bertanya-tanya siapa yang sudah melakukan semua ini. Kutegakkan kepalaku dan beberapa puluh hasta didepanku sudah berdiri Sammael bersama ribuan tentara iblis, didekatnya ada sembilan orang yang memakai baju zirah yang sama seperti yang dipakai Sammael. Dan dibelakang mereka ada seorang makhluk tengkorak bertubuh besar dan berpakaian compang camping seperti rahib berwarna abu-abu dan bersayap kelelawar, kepala tengkorak itu tertutup oleh tudung pakaiannya dan bola mata kuningnya yang menyeramkan menatap kearahku.

"Jadi dia si Archangel terakhir yang masih hidup." suara menggema si tengkorak itu membahana dipadang ini.

"Benar sekali Master, kami sudah membantai semua teman-temannya termasuk istrinya." Sammael menendang salah satu mayat disana. Ya, itu Sevilla yang ikut tewas diantara mayat-mayat ini.

"Sammael, keparat kalian semua !!!!!"

Kucabut pedangku dan berlari mendekati mereka, dan dengan satu jentikan jari Sammael ribuan tentara iblis itu menyerangku. Sepuluh menit bertarung melawan mereka akhirnya aku menyerah setelah kaki dan tanganku terpotong. Sammael memenggal kepalaku sambil berkata...

"Tidak ada gunanya melawan kami kalau pada akhirnya umat manusia yang kalian bela akan diseret juga ke dunia merah tempat tinggal kami !!!!"


***

Pukul setengah delapan pagi. Kucoba membuka mataku yang terasa berkerak dan masih berlinang air mata. Tubuhku yang mati rasa setelah bermimpi buruk kini pulih. Kudengar suara ceria diluar teras sana dan saat kulihat, teman-temanku sedang asik bermain voli ditengah suasana pantai pagi hari yang cerah.

"Hei Gabriel sudah bangun!" Petrus melambai kearahku yang diikuti oleh lambaian tangan dari yang lainnya.

"Ayo turun kesini Gabe, kita main voli." Felicia juga melambai kearahku, kulihat pula adiknya Deryck ikut tersenyum melihatku bangun. Namun wajah cemas dan suramku membuat mereka semua terdiam hingga aku memutuskan untuk kembali masuk kedalam kamar dan menyendiri didalam kamar, merenungi ketakutanku akan mimpi buruk yang paling buruk diantara semua mimpi buruk yang pernah kulalui sejauh ini selama berkuliah diantara makhluk-makhluk aneh bermata biru ini.


Nephilim UniversityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang