Part 7 : There's No Reason for Racism

1.3K 131 3
                                    

Malam hari telah tiba, setelah selesai mandi aku kembali ke kasurku bersama empat teman kesayanganku. Seperti biasa mereka masih sibuk bercanda riang setelah siang hari tadi ada diantara mereka tengah mengerjakan tugas ataupun tidur siang. Dengan wajah masam penuh tanda tanya, aku melangkah menuju kasurku.

"Hey kau baik-baik saja?" Josiah terheran-heran dengan ekspresiku.

"Ya aku baik-baik saja." aku menjawab seadanya.

"Ya, kau tidak terlihat baik-baik saja dilihat dari wajah dan suaramu." Joshua ikut menimpali. Saat itulah Gilbert duduk disebelahku dan diikuti pula oleh Petrus, Josiah dan Joshua juga ikut mendekatiku.

"Hey, kau tahu kami bisa diandalkan jika kau berbagi keluh kesahmu pada kami." suara berat Gilbert yang khas orang negro terdengar sangat bersahabat.

"Ini soal masalahmu dan teman Archangelmu, dengan para bandit-bandit lingkup kedua itu ya?" Petrus ikut menanyaiku.

"Apa aku terlihat berbeda dari kalian? diantara semua penghuni kampus ini yang bermata biru menyala hanya aku satu-satunya yang bermata hitam kelam." Suaraku mulai terisak melihat betapa perhatiannya mereka padaku.

"Aku mengerti perasaanmu mengingat aku juga pernah jadi korban rasisme hanya karena aku berkulit hitam." Gilbert merangkul bahuku.

"Kau tidak perlu malu bung, kau tidak pernah sendirian disini." Josiah ikut menyemangatiku.

"Ya, mata hitam bukan berarti kau berbeda dari kami, ini cuma soal warna bola mata." Joshua ikut menimpali. Petrus juga ikut menyemangatiku dengan memberiku sebuah kalimat pepatah.

"Pernahkah kau lihat dua ekor burung hantu yang berbeda, yang satu berbulu hitam dan bermata oranye dan satu lagi berbulu putih halus dan bermata biru tajam. Sedikit perbedaan memang terlihat dari wujud mereka tapi soal berburu dan terbang mereka sama jago-nya."

"Intinya adalah kau akan selalu punya keluarga disini termasuk pula kami, oke." Gilbert merangkul kami semua. Kurasakan sebuah pelukan hangat kasih sayang dari para keluarga baruku ini.

"Oke terima kasih teman-teman, aku sudah merasa lebih baik sekarang."

"Dan jika kau terpaksa harus berurusan lagi dengan preman-preman itu jangan sungkan-sungkan untuk minta bantuan kami." Joshua ikut menimpali dengan candaan khasnya.

"Terima kasih." kami pun berdoa sebelum akhirnya kami tertidur.

***

Tiga bulan telah berlalu dan aku mulai terbiasa dengan lingkungan disini. Aku sudah tidak canggung lagi meskipun hanya aku disini yang bermata hitam dan tidak punya kekuatan. Aku juga semakin senang karena mulai punya banyak teman, walaupun jumlah preman The Powers yang menjahiliku dan teman-temanku juga semakin banyak. Tapi aku senang karena para pengawas yang bisa berubah wujud menjadi mirip gargoyle itu sudah mulai memperketat keamanan demi mengatasi keributan, meski begitu tidakan pembullyan masih tetap terjadi.

Bicara soal akademik, nilai-nilaiku juga semakin bagus berkat bantuan Philip. Tante 'Madam' Veronica juga semakin sering memujiku atas nilai bagusku. Kurasa aku sudah memiliki keluarga baruku sendiri disini. Ya, sudah saatnya kaum 'geekers' dihormati disini karena mereka juga punya banyak kelebihan. Saat ini aku dan Philip tengah menikmati makan siang di kafe. Aku senang karena keadaan Philip sudah mulai membaik.

"Hey terima kasih karena sudah membantuku belajar selama disini." aku yakin kalimat terima kasih ini tidak akan pernah cukup.

"Aku juga berterima kasih padamu sudah mau membantuku, aku merasa lebih tenang dan bebas sekarang."

"Ya, kurasa tidak ada lagi yang perlu dicemaskan untuk enam semester yang akan datang."

Kami masih menikmati makan siang ketika beberapa mahasiswa mendekati meja kami yang memang hanya diisi oleh kami berdua.

"Boleh ikut gabung?" Salah satu pria yang berambut pirang memohon pada kami.

"Tentu, silahkan." aku dan Philip menjawab bersamaan. Kini meja ini diisi oleh delapan orang. Dua wanita berpakaian cheerleader bernama Rachel dan Felicia, Satu wanita dengan riasan wajah gothic berjaket abu-abu dengan kepala yang ditudung bernama Grey. Satu pria yang bergaya skatepunk bernama Deryck, Satu pria berkacamata dengan banyak buku ditasnya bernama Sebastian dan si pirang ini bernama Jace.

"Hey kau dari kelas Archangel benar? kau di ruangan berapa." Grey mulai menyapaku.

"Ya benar, aku dari ruangan 18-30-0911." aku menanggapinya sambil sibuk mengunyah.

"Berarti kita berdekatan, aku dari ruangan 18-30-0913." Grey semakin senang namun tetap dalam gaya dinginnya.

Setelah asik mengobrol kini kuketahui Grey satu jurusan denganku yaitu kelas Archangel meskipun diruangan yang berbeda, Deryck dan Jace dari kelas Principalities, Sebastian dari kelas Virtues sementara Rachel dan Felicia adalah anggota dari team cheerleaders yang juga merupakan dua dari tiga puluh cheerleader paling difavoritkan dikampus ini, meski mereka berdua dari kelas The Powers namun mereka termasuk kategori mahasiswi baik-baik.

Beberapa menit berlalu tiba-tiba anak-anak The Powers biang rusuh itu datang lagi. Mereka berniat untuk menghajarku karena dinilai sudah membuat para geekers mulai berani dengan mereka.

"Kuharap kau menikmati makan siangmu ini dengan sebaik-baiknya." Anak The Powers itu menjambak kerah belakangku.

"Ya, karena itu akan menjadi santapanmu yang terakhir." Sahut yang lainnya sambil menyiapkan belati di saku-nya. Belati yang sama yang pernah dipakai Janax waktu itu.

Mendengar dua orang itu berujar begitu padaku, aku mulai menyiapkan pisau dan garpu yang tadi kupakai untuk makan. Melihat keadaan mulai memanas, semua mahasiswa disini kembali ramai. Perkelahian berikutnya akan terulang kembali.

Bersambung ...


Nephilim UniversityWhere stories live. Discover now