Arata: Keping yang Tak Pernah Terungkap - Bonus Chapter

4.2K 270 46
                                    

Arata menatap sepucuk surat di tangan. Teruntuk: Akikawa Ayumi. Tertulis jelas di sudut kanan atas amplop. Pemuda itu tersenyum tipis. Senyum yang tidak bertahan lama. Digantikan ekspresi tak terdefinisi saat meletakkan surat tersebut di pangkuan. Sudut matanya beralih ke surat lain. Tergeletak di dekat bantal. Surat lain yang ia tulis untuk penerima yang berbeda. Akikawa Aisha.

Setelah sekian lama, Arata akhirnya menulis balasan untuk wanita itu. Wanita yang bukan lain adalah ibu Ayumi. 

Sela bibirnya mengembuskan napas panjang, berusaha untuk memaklumi. Wajar jika Aisha bersikap seperti itu, pikirnya. Mungkin begitulah cara Aisha melindungi Ayumi. Cara seorang ibu yang menginginkan agar putrinya bahagia. Arata, sebagai laki-laki asing di keluarga Akikawa—begitulah Aisha menyebutnya dalam surat—memutuskan untuk mengerti. Mengenai alasan Aisha. Juga, memahami siapa dirinya.

Aisha benar. Sudah saatnya berpikir realistis. Dia dan Ayumi sudah bukan remaja tanggung lagi. Ada tanggung jawab, juga masa depan yang harus ditata.

Arata menghela napas. Disisirnya keadaan sekitar. Ia akan merindukan tempat ini. Pasti. Terlalu banyak hal yang tak bisa dilupakan. Pemuda itu tersenyum, menyemangati diri. Ayolah, Arata! Ditepuknya kedua belah paha satu kali sebelum berdiri dan menyelipkan dua buah surat siap kirim di tangan ke saku kemeja.

Terdengar ketukan dari luar, tepat saat Arata akan membuka pintu apato. Ketukan kedua. Ketiga. Keempat. Tidak sabaran. Arata mengurungkan niat. Demi keamanan, lebih baik memastikan terlebih dahulu siapa orang di luar sana.

Baru Arata ingin bertanya, satu suara yang familier mendahului. Ini aku. Begitu katanya. Hal yang membuat Arata mengernyit. Jelas sekali bukan itu yang ia perlukan. “Aku, siapa?”

Terdengar decakan pelan sebelum yang ditanya menjawab, “Fujiwara Fumio. Apa kau akan tetap bertanya sepanjang hari?”

Arata ber-oh pelan, buru-buru membukakan pintu. Bisa dilihatnya Fumio bersedekap. Raut wajah sahabatnya itu tampak kaku. Tanpa sengaja Arata berkedip, membuat wajah di depannya kembali menjadi sosok asing. Seakan-akan ini pertama kalinya mereka bertemu. Hal yang membuat Arata menggeleng frustrasi.

“Jangan memaksakan diri. Ini benar-benar aku. Pukul saja jika kau tidak percaya.”

Arata kembali menggeleng. Kali ini seulas senyum ia suguhkan. “Maafkan aku.” Pemuda itu membukakan pintu apato lebih lebar seraya memberi isyarat dagu pada lawan bicaranya sekarang ini. “Masuklah. Aku harus keluar sebentar. Ingin menitip sesuatu?”

“Kantor pos?”

Arata menaikkan alis. “Kau minta dibawakan kantor pos? Wah, Kak! Berat sekali titipanmu.” Pemuda itu terkekeh saat mendapati Fumio memberinya tatapan paling datar sedunia. “Hanya bercanda. Ya, untuk mengantarkan surat. Kenapa? Kau mau ikut?”

“Oke.” Singkat, jelas, dan padat. Seperti yang bisa diharapkan dari seorang Fujiwara Fumio.

Arata mengangguk, mengunci pintu apato dengan cepat, lantas menggamit lengan Fumio. “Ayo!” ajak Arata, dengan Fumio berjalan di sisinya. “Harusnya kau menghubungiku jika ingin datang,” kata Arata, membuka percakapan saat dirinya dan Fumio mulai menuruni anak tangga.

“Jadi, kau tidak menginginkan kedatanganku?” Fumio menyahut tanpa perlu repot-repot menoleh.

“Kau terlalu sensitif!” Arata meninju lengan Fumio, gemas. “Jika kau menghubungi terlebih dahulu, setidaknya aku bisa menyiapkan kudapan.”

“Seakan-akan aku orang asing yang bertamu.” Fumio memutar bola mata jemu. “Aku sudah mengirimkan pesan pendek. Menelepon. Semua tidak bersambut,” katanya lagi. Kali ini diiringi helaan napas pendek.

Let Me Freeze These Memories [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang