9. Jika Ia Berada di Sisiku

469 62 26
                                    

Merelakan hati untuk membagi rasa yang sama antara kau dan dia, tak semudah yang bisa kau bayangkan.

Haruskah aku menunjukkannya padamu, meski itu harus melukai kita berdua?

Haruskah aku menunjukkannya padamu, meski itu harus melukai kita berdua?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Kau mengantuk?”

Fumio menelengkan kepala saat mendapati Ayumi terkantuk-kantuk sejak bus berangkat menuju tujuan: Kanazawa. Sebelah alis pemuda itu terangkat ketika Ayumi tidak kunjung memberikan respons. Gadis itu hanya menguap, menutup mulut yang sempat menganga lebar dengan punggung tangan, lantas mengucek kedua belah mata yang tampak kemerahan.

Fumio berdeham agak keras, membuat Ayumi sedikit terlonjak dan langsung menoleh ke arah pemuda tersebut.

“Apa kau tidak mendengarku tadi?” tegur Fumio dengan nada datar, berusaha agar tidak meninggikan intonasi suara di depan perempuan yang duduk di sampingnya itu.

Bus ramai dengan orang-orang yang satu tujuan dengan mereka, dan bisa Fumio pastikan seratus persen, mereka memerlukan ketenangan sekarang ini. Minimal hingga beberapa jam ke depan.

“Ah, maaf.” Ayumi meringis. Sungguh, ia tidak bisa fokus saat ini. Ditambah kondisi kedua belah mata terasa perih dan berair, dengan kepala yang terus berdenyut tak karuan. “Tadi kau bilang apa?”

Tanpa bisa dicegah, Ayumi menguap lebar yang sontak langsung diiringi gerakan tangan menutup mulut.

Fumio mengernyit, heran dengan Ayumi yang terlihat tidak bersemangat seperti biasa. Kedua mata bening itu tampak sayu, dengan wajah sedikit pucat, dan juga tatapan yang tak berbinar seperti biasanya. 

Fumio menghela napas panjang, mendekatkan wajah dan berbisik pelan, “Apa kau tidak tidur semalam? Jangan bilang kalau tadi malam kau tidak tidur sama sekali.” Ada sirat samar khawatir yang terpancar dari wajah pemuda itu. 

Padahal semalam Fumio masih mendapati Ayumi bersemangat mengetuk pintu kamar dan mengajaknya makan malam bersama dengan Kaiya dan Yudai. Gadis itu dengan cekatan menyiapkan makanan yang dibawa Kaiya dan Yudai di atas meja yang berada di tengah kamar, mempersilakan Fumio mencicipi lebih dulu. Lumayan juga, pikir Fumio. Untuk ukuran sebuah penginapan sederhana, fasilitas dan makanannya cukup lengkap.

Fumio baru tahu kalau Ayumi yang memasak semua makanan yang mereka santap ketika Kaiya menggoda Ayumi, memberitahu kalau kakaknya yang memasak semua makanan itu. Khusus untuk Fumio. Entah benar atau tidak. Dilihat dari gelagat yang tangkas dan efisien, Fumio percaya saja kalau memang Ayumi yang memasak semua itu sebelum akhirnya mereka bertiga pamit undur diri. Menyisakan Fumio yang menutup pintu usai semua kehangatan itu berakhir.

Ayumi menggeleng kecil, dengan seulas senyum terpampang di wajah lelah tersebut. “Tidurku hanya ... kurang nyenyak. Itu saja.”

Bohong. Ia memang tidak tidur semalam suntuk. Setelah pulang ke rumah bersama Kaiya dan mengendap memasuki rumah agar Aisha tidak terganggu dengan kehadiran mereka, Ayumi mengajak Kaiya masuk ke kamarnya. Berkata ia perlu bantuan adiknya itu untuk melakukan satu hal.

Let Me Freeze These Memories [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang