4. Kisah-kisah yang Hilang

659 75 36
                                    

Bertemu denganmu, mengingatkan pada daya magis salju: terlihat indah dari jauh, tetapi, saat memegangnya akan terasa bagaimana dirimu yang sebenarnya. Dingin, begitu sulit kusentuh dan kurengkuh.

Sepeninggal Nyonya Hana undur diri setelah mempersilakan Ayumi dan Fumio untuk berbincang, tidak ada satu pun dari mereka yang membuka mulut

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sepeninggal Nyonya Hana undur diri setelah mempersilakan Ayumi dan Fumio untuk berbincang, tidak ada satu pun dari mereka yang membuka mulut. Ayumi menunduk, menyadari bahwa Fumio terang-terangan menatapnya-bahkan cenderung meneliti dari ujung kepala sampai ujung kaki. Benar-benar canggung. Ayumi menggigit bibir bagian bawah pelan, tak tahu harus bicara apa.

"Ayumi ...." Sebuah suara yang cenderung kelewat pelan-hingga Ayumi sendiri bahkan mungkin tidak akan mendengarnya kalau tidak menajamkan telinga-terucap dari bibir Fumio. Perlahan, Ayumi mengangkat wajah. Fumio sedikit tergagap tepat saat Ayumi balas menatap pemuda itu tepat di manik mata. "Maksudku, Akikawa-san." Fumio dengan cepat meralat.

Ayumi mengibaskan tangan dengan cepat. "Panggil saja Ayumi, Fujiwara-san," pinta Ayumi sebelum kembali menunduk, tak kuasa menahan rasa gelisah dalam dada ketika Fumio seolah menghunjamkan tatapan paling dalam padanya. Ayumi memilin kedua belah telunjuk, merasakan hawa di sekitar mulai merangkak naik ke tahap canggung berat.

"Kau bisa memanggilku Fumio, Ayumi." Fumio mengangkat alis, sedikit heran dengan kelakuan gadis di depannya sekarang ini: selalu menundukkan pandangan seakan-akan Fumio berada di lantai yang gadis itu pijak, bukan di hadapannya. Pemuda dengan anting di telinga kanan itu mengembuskan napas, berucap datar, "apa yang kau lihat di bawah sana? Angkat wajahmu dan lihat aku. Aku di depanmu, bukan di bawah kakimu."

Aneh sekali, pikir Fumio.

Ayumi tersentak, merasakan bulu kuduk di sekujur tubuh seakan tersengat saat Fumio mengentak dengan satu kalimat yang menohok. Pemuda itu memang berada di hadapannya. Ayumi tahu itu. Namun, tatapan itu ... membuat Ayumi segan untuk balas menatap Fumio. Tajam. Seperti elang yang siap menyambar seonggok daging kapan pun ia mau-dan saat ini Ayumi tahu benar posisinya sangat mendukung sebagai daging.

Ayumi menelan ludah gugup. Gadis itu refleks meremas tas cangklong yang tersampir di bahu saat Fumio berdecak dan maju tiga langkah, mendekat. Tanpa disangka-sangka, tangan Fumio terulur dan tanpa ragu menyentuh dagunya, memberi tekanan ke atas yang mau tidak mau membuat Ayumi mengangkat wajah. Gadis dengan rambut hitam legam sepunggung itu kembali tergagap saat Fumio menatapnya intens seraya menaikkan sebelah alis dan sudut bibir terangkat, membentuk seringai samar sebelum ekspresi wajah itu kembali kaku. Hal yang mengingatkan Ayumi pada salju: indah, tetapi begitu dingin.

Keduanya bersitatap, saling mendaratkan pandangan pada iris sepekat malam satu sama lain. Ayumi dengan tatapan yang benar-benar sendu saat ini, dan Fumio dengan kilat yang semula begitu tajam perlahan-lahan melembut. Ayumi baru bisa menghela napas lega ketika jempol dan telunjuk Fumio yang memegang dagunya menjauh, diiringi sang empu tangan yang ikut mengambil langkah mundur sebanyak tiga langkah. Memberikan Ayumi ruang untuk bernapas dan mengatur detak jantung yang tiba-tiba saja seolah dipompa kuat-kuat.

Let Me Freeze These Memories [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang