2. Tersesat

107 28 38
                                    

Ternyata cinta dalam diam itu berat, cinta sendirian, baper sendirian, sakit pun sendirian.

***

"Gila lo, Fa!" Zero, anggota PA kelas 11, menepuk bahu Luthfa dari belakang. Ia heran karena tidak melihat Luthfa merasa kesusahan sedikit pun menggendong dua tas. "Mau banget diperbudak cewek nggak tahu diri kek dia! Noh, lihat, dia sekarang malah asyik main HP. Nggak mikir banget di atas nggak ada listrik, entar dia nangis kejer baterainya habis." Tangannya menunjuk Nantha kesal.

Berhenti sejenak, Luthfa menyadari bahwa sedari tadi dirinya digunjingkan baik anak perempuan maupun laki-laki. Akibat tindakannya, mereka jadi banyak mengeluh dan itu ditujukan kepada Gusvi, si wakil ketua umum PA. Menghela napas, Luthfa hanya melirik sebentar sekitarnya. Ia juga melirik Nantha sekilas, sebelum terus berjalan dengan perasaan kesal.

"Demi apa Luthfa Gathutkaca jadi bucin adik kelas? Nantha pula." Gusvi berdecak, "Ternyata selera lo yang kek gitu."

"Daripada dia mogok di sini? Kan, nggak lucu." Luthfa menatap Gusvi kesal, enak sekali menyebutnya budak cinta. Namun, kaki Luthfa masih berjalan meskipun pundaknya sedikit berat.

"Ya, tapi lo bisa lihat sendiri anak-anak lain gosipin lo. Mereka bahkan ada yang minta gue bawain tasnya kayak lo gitu."

Oke, Luthfa benar mendedikasikan Gusvi sebagai laki-laki rempong dan bacot.

"Besok-besok, nggak usah ajak anak manja kayak dia! Ini belum nyampe atas, lho. Coba aja di atas nanti tingkahnya kek apa." Zero bahkan masih tidak terima Nantha diajak ke puncak. "Ada baiknya dia kita tinggal di sini."

Luthfa mendelik. "Ini, nih, yang gue nggak suka dari lo. Seenaknya sendiri ngatur orang." Setelah mengucapkan itu pada Zero, Luthfa melanjutkan perjalanannya.

Meskipun suara gosipan anak-anak masih terdengar, Luthfa pura-pura tuli. Topiknya bahkan masih sama, dirinya dan Nantha. Topik itu memang menyenangkan terlebih bagi mereka yang hobi menghujat. Ada juga yang tertawa terhibur dan bahkan menjodohkan mereka berdua. Dengan wajah Luthfa yang lumayan memikat hati para perempuan dan wajah Nantha yang cerah manis. Benar-benar serasi.

Hari sudah benar-benar gelap, azan Isya terdengar berkumandang dari berbagai penjuru kota. Luthfa membawa dua tas, besar dan berat. Sebenarnya ransel Luthfa lebih ringan meskipun besar. Namun tas punggung Nantha jauh lebih berat dari punyanya.

Sedangkan Nantha malah asyik video call dengan seseorang di ponsel yang baterainya mulai 50-an persen. Padahal masih ada nanti malam dan besok pagi, tentunya mereka sedang jauh dari listrik. Gadis itu juga tidak membawa power bank pengganti listrik.

Tenang, kan, ada Luthfa. Nantha melanjutkan video call-nya tanpa merasa risi digunjingkan oleh semua orang.

Penggunjing jelas saja kakak kelas 11 dan 12. Sudah pasti, tidak ada yang menyukai sikap Nantha yang seenaknya sendiri ini. Mereka tidak berani menegur, terlalu lelah membawa tas membuat mereka malas berdebat atau mendengar rengekan.

Tentu saja, Nantha, kan, gadis manja yang sejak ikut ekstra PA, semua orang mengetahuinya. Apalagi waktu Luthfa memaksanya dan ia merengek banyak alasan. Alhasil, setelah beberapa menit berdebat, gadis itu ikut juga. Sejak saat itu, semua orang mulai mengecap Nantha sebagai gadis manja dari kelas 10.

"Capek, Kak ...," keluh salah satu perempuan diikuti anak-anak perempuan lain. Mereka akhirnya berhenti lagi, istirahat, mengambil napas, minum, dan bahkan ada yang menyesali make up-nya yang luntur.

Ineffable [END]Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ