10. Pusat Atensi

44 10 6
                                    

Pohon hidup mengalami kering pada daunnya dan gugur. Cinta pun mengalami fase lelah dan ingin pergi.

***

Rendra, adik Luthfa satu-satunya, mendengarkan info dari Teddy dengan saksama. Bocah laki-laki itu mengangguk-angguk mengerti. Bermacam-macam trik dan rencana tersusun rapi di kepala.

"Laporan diterima. Ayo, sekarang kita ke lapangan!"

Perintah bocah berambut mirip gaya Luthfa itu langsung dituruti oleh teman-teman yang lain, seperti menuruti titah raja bagi mereka. Daripada nanti tidak mendapat jatah makan di rumah Rendra.

Laporan tersebut intinya adalah lawan futsal mereka mengajak tanding di lapangan besar sekarang juga. Rendra memang anak bandel makanya langsung berangkat. Padahal, kan, jam sudah menunjukkan seharusnya ia mandi untuk berangkat mengaji.

Peduli setan, tantangan dari lawan harus segera dilaksanakan.

Mereka mengendarai sepeda di pinggir jalan. Di samping Rendra terdapat Teddy yang juga bersepeda. Mereka berbincang tentang strategi yang akan digunakan nanti.

"Abang kamu nggak ke SMA hari ini?" tanya Teddy, menyejajarkan sepedanya dengan Rendra.

"Nggak tahu. Dari siang nggak lihat. Tadi tanya Mama katanya keluar sama temannya pake baju biasa. Nggak pake futsal paling main ke rumah siapa gitu," jawab Rendra dengan suara yang sama agar mereka saling mendengar. Berusaha mengalahkan bisingnya suara kendaraan berlalu lalang dan suasana jalanan siang ini.

"Kapan tanding di SMA lagi? Pengen lihat lagi, waktu itu belum puas lihatnya."

"Iya, entar kalau dapat info aku kasih tahu kamu."

"Iya, aku juga mau lihatlah, waktu itu aja aku nggak lihat. Sayang banget," ujar salah seorang teman mereka yang tiba-tiba menyejajarkan juga sepedanya. Sehingga posisi mereka tidak baik, apabila ada motor bisa saja si teman Rendra yang satunya itu terserempet karena sedikit menengah.

"Iya, entar diajak, kok. Jangan di samping! Depan atau belakang aja sekalian! Bahaya, woi!" Teddy dan Rendra panik sendiri sehingga memelankan kayuhannya. Ini jalanan besar dan sedikit ramai.

Mereka membelokkan sepeda melewati gang kecil agar segera sampai di lapangan yang dijanjikan. Ketika gang itu berakhir, mereka berhenti di pertigaan depan Indojuli ketika mendengar suara sepeda jatuh. Mereka kira kalau salah satu dari mereka ada yang terjatuh, tetapi ternyata pemandangan di depan sana membuat Rendra membulatkan matanya.

"Lho, itu, kan, Bang Luthfa!" seru mereka bersamaan. Tidak hanya bertiga, tetapi teman-teman Rendra yang lain juga. Sebanyak lima orang lainnya.

Mumpung jalanan sedikit sepi, segera mereka mengayuh sepedanya menuju pelataran Indojuli agar bisa menyapa laki-laki yang sedang jatuh dari sepeda dengan seorang perempuan.

"Au!" pekik Nantha ketika bokongnya mendarat tidak bagus di lantai paving. Matanya sudah berkaca-kaca, hendak menjatuhkan airnya. Rasa sakit serta malulah penyebab ia hendak menangis.

Teman-teman Luthfa yang bukannya bantuin malah rekam kejadiannya sambil berseru, "Goblok!"

Rendra dan teman-temannya membulatkan mulut ketika sampai di depan kejadian itu. "Bang Luthfa pacaran, ya? Astaga—"

Luthfa melotot, bagaimana bisa bocah kecil itu tahu dirinya di sana? "Mau apa? Es krim? Aice?" sambarnya. Kalau sudah begini, Rendra tidak akan mau diam, pasti akan melapor. Makanya sang kakak harus mencegah dengan cara menyogok.

"Mau! Yuk, Guys, kita hari ini dapat pajak jadian, lho!" seru Rendra. Mereka segera meletakkan sepedanya masing-masing dan masuk ke dalam Indojuli. Memilih apa yang mereka inginkan.

Ineffable [END]Where stories live. Discover now