30. Dasar, Manja! [END]

99 5 2
                                    

Biarlah tanganmu saat ini terasa kosong karena berjalan sendiri. Suatu saat akan ada yang benar-benar menuntunmu, berjalan di sampingmu dengan senyuman manisnya.

***

Semua yang mendengar merasa miris sekali, merasa bersalah. Apakah mereka sejahat itu di mata Nantha? Seakan merasa mereka itu teman apa hanya sekadar kenalan? Apakah ucapan Nantha sesombong itu?

Savina yang duduk di samping Nantha mendekatkan diri. Wajahnya terlihat memelas, entah asli atau palsu. "Nggak gitu, Nan. Gue serius emang lagi ada masalah. Ya, lo jangan ngerasa kek kita ini nggak bantu lo."

"Ya, emang kita nggak bantu, Goblok!" Safa berbisik di telinga Savina, tetapi terdengar sampai telinga yang lain.

"Gue, nih, yang salah?" tanya Savina.

"Iyalah!" seru ketiga temannya yang lain.

"Ya udah, gue minta maaf. Maafin gue, ya, Nan. Gue ngerasa gagal banget jadi temen deket lo." Akhirnya, Savina meminta maaf dan diikuti ketiga temannya yang lain. Bukannya memerhatikan Dena di depan, mereka malah sibuk mengadakan lebaran dadakan.

Dena mengambil alih perhatian. Ia melanjutkan penjelasannya yang tadi tertunda karena kedatangan Nantha.

Sebenarnya, kakak kelas 11 juga merasa risi atas kedatangan Nantha. Namun, di sisi lain juga merasa kasihan. Terlebih setelah melihat wajah suram Nantha yang tanpa senyum. Rasa kasihan dan tak tega mereka membuat Nantha yang merasa tak nyaman.

"Nantha," panggil Dena dan kawan-kawan di depan sana.

Nantha mendongak tanpa menjawab. Dilihatnya Luthfa masih setia menunggu duduk di lantai berundak di depan sana.

"Lo masih ikut PA bener, 'kan?" tanya wakil ketua yang tak Nantha tahu namanya siapa.

Yang ditanya malah diam saja karena merasa bingung harus menjawab apa. Ia teringat betapa repotnya kalau harus meminta izin ke Genta. Ia teringat lagi bagaimana hubungannya dengan Genta saat ini.

"Liburan nanti kita mau mendaki, bukan lagi muncak. Kita mau ke gunung Semeru, kalau lo ikut, sih, akan dengan senang hati kita terima." Kali ini, Dena yang bicara. Laki-laki dengan mata sipit dan hidung mancung itu terlihat berwibawa, tak seperti ketua sebelumnya. Ah, bukan berarti Luthfa tak berwibawa. Luthfa jauh lebih tampan dan sedap dipandang daripada Dena yang berjerawat.

Itu artinya lebih dari semalam dua malam, 'kan? Bisa berhari-hari, bahkan entah sampai kapan? Bagaimana keadaan rumah kalau ia tinggal barang sekejap? Nenek tak mungkin sanggup memasak dan membersihkan rumah sekaligus. Dia sudah terlalu renta. Sedangkan Genta jelas saja akan lebih mengurusi kios kecilnya.

Di rumah, Nantha-lah yang paling rajin. Memasak, menyapu, mencuci, dan mengurusi semua tugas rumah. Ia melakukan semua itu satu bulan terakhir dengan wajah tetap sama.

"Tapi ...." Sekretaris PA juga ikut berbicara. Tak ingin ketinggalan pembicaraan karena ini adalah hal tak biasa. Alias harus dipersiapkan dengan matang.

"Gue juga ikut, kok, tenang aja," sambar Luthfa lebih dahulu. Tak mau sekretaris itu melanjutkan ucapannya yang bisa saja menyakiti perasaan Nantha. "Nantha ikut, gue juga."

Sorak sorai terdengar memenuhi kelas, pipi Nantha memanas dan merah. Mengapa Luthfa sekompor ini?

"Katanya mau liburan sendiri?" sindir Dena.

"Gue belum pernah ke gunung Semeru, jadi, ya, biar ada merasakan ke sana sama kalian semua. Entar gue ajak alumni yang lain. Nggak ngebutuhin undangan kalau yang ini, mah," kata Luthfa menjelaskan.

Ineffable [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang