29. Sok Peduli

22 2 0
                                    

Kamu hanya akan tahu bagaimana rasanya ditinggalkan saat kamu sedang sendiri. Jadi, jangan coba untuk tidak setia.

***

Satu bulan terakhir Nantha lewati dengan wajah muram. Tak ada semangat hidup. Sekolah-pulang-makan-tidur-sekolah-pulang-makan-tidur. Kegiatannya sehari-hari hanyalah seperti itu. Tak ada kegiatan lain. Sampai rumah juga tak melakukan apa-apa selain tidur dan makan.

Untuk sekolah, dahulu memang Ditya sempat meminta pihak sekolah untuk mengeluarkan Nantha, tetapi hari itu belum tiba. Sampai saat ini gadis itu masih bersekolah.

Menjelang ujian semester satu biasanya memang banyak tugas dan kerja kelompok. Nantha selalu mengerjakannya tepat waktu. Tanpa berpikir dan tanpa menyontek. Mencari jawaban dari Google. Maka dari itu, ketika tugas kelompok, ia selalu di rumah dan mengirimi link atau screenshot jawaban dari Google.

Ia tidak lagi mengikuti kegiatan ekstrakurikuler. Bahkan, sampai dipaksa oleh Luthfa dan kawan-kawan. Namun, tetap saja tak mau, lebih mau menetap di rumah.

Setiap hari, Luthfa yang menjadi bodyguard-nya. Yang selalu menjemput tepat jam 6.15 dan akan mengantarkan pulang ke rumah. Lebih mirip seperti supir pribadi. Tak ada yang menarik. Hanya ketika sedang teringat mendiang, Luthfa selalu menahan pundak Nantha dan memberi usapan pelan pada kepalanya.

Tak memeluknya. Luthfa bisa bonyok gara-gara itu.

Luthfa bukan lagi ketua Pecinta Alam karena sudah kelas 12 dan sebentar lagi ia akan menjalani masa ujian. Namun, tetap menjadi alumni Pecinta Alam SMA Satu.

"Nan, tahun baru ke mana? Gue mau ngajak lo jalan kalau mau," ujar Luthfa ketika ia baru saja mengantar Nantha pulang. Mereka sampai di depan rumah Nantha, dengan tatapan tajam Genta dari dalam sana.

Memang, Genta belum sepenuhnya percaya dan merelakan Nantha pada Luthfa. Laki-laki itu masih ada sedikit rasa tak suka pada Luthfa. Entah apa alasannya, ia selalu menatap tajam Luthfa dari kejauhan.

Mengendik, Nantha melepas helm. Masih belum berbalik.

"Makasih," ucap Nantha pelan. Tak menghiraukan pertanyaan Luthfa tadi. Kemudian berbalik ke dalam rumah.

Kata terima kasih itu jelas Luthfa tahu maksudnya. Gadis itu selalu mengucapkannya ketika baru saja turun dari boncengan Luthfa. Boleh karena berterima kasih telah dibonceng, terima kasih karena telah setia menemani, dan terima kasih karena telah selalu ada untuk memegangi pundaknya.

"Gue mau kasih lo pelajaran, bahwa hidup itu ada jatuh dan bangkitnya. Ada saat di atas dan sebaliknya."

Nantha berhenti sebentar di depan pintu pagar, mendengar ucapan itu seakan ia menyuruh Luthfa mengasihaninya. Lalu, kembali berjalan memasuki rumah tanpa menoleh ke belakang.

Desember, bulan ujian, bulan liburan juga. Namun, Nantha teringat ujian tahun kemarin Wati memberinya hadiah karena naik kelas. Maklum saja, Nantha bukan anak pintar yang akan mendapat hadiah jika mendapat juara satu.

Hadiah itu tak jauh dari peralatan tulis. Seperti satu pulpen dan satu tipe ex, sebuah buku tulis tipis yang di atasnya terdapat buku diary, atau buku gambar besar yang digulung dengan sampul Spongebob besar. Dan masih banyak lainnya.

Itu memang sederhana, tetapi beda. Benda-benda itu tidak bisa didapatkan di kotanya. Ketika Nantha membukanya lagi hari ini, benda-benda itu tertata rapi di kotak kayu seperti peti bergambar Spongebob.

Kotak kayu itu Nantha temukan lagi di bawah kasur di rumah neneknya. Berdebu dan bersarang laba-laba. Tak ada yang membukanya.

Dulu ... Nantha meminta kotak itu sampai menangis keras. Alasannya karena ia ingin seperti teman-temannya yang mempunyai tempat bermain bergambar Spongebob. Pada akhirnya, Ditya yang membelikan, impor dari luar negeri.

Ineffable [END]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora