4. Kebiasaan

75 18 28
                                    

Hujan pun tahu kalau dia datang tidak sendiri, pasti akan ada matahari yang menyambutnya nanti.

***

"Mampus lo, Fa! Ngamuk dia."

Desisan itu tidak membuat Luthfa takut lantas pergi. Ia malah pura-pura tidak tahu dengan memasang wajah tanpa dosanya.

"Udah ngerasa banget, ya, ini sekolah milik nenek moyang lo? Gini, ya, gue, sih, nggak apa-apa lo minta duit ke gue kalau emang gue punya. Masalahnya, kalau lo nerapin prinsip pajak ke semua siswa, kasihan, mereka sekolah bayar ke pihak sekolah, bukan ke lo! Mentang-mentang ketua PA sama anggota inti pramuka, enak banget?! Ketua nggak berkualitas! Cih!"

Nantha benar-benar dapat merasakan emosinya memuncak. Terlebih banyaknya sampah di sekitar sini membuat darah gadis itu seketika pindah ke kepala. Bahkan, perkataannya tadi dua tarikan napas saja.

"Gile, dugong PMS," gumam Minza sembari melirik kanan kiri ke teman-temannya.

Sedangkan Zero sedari tadi hanya berdecak kesal, telinganya panas mendengar ocehan gadis itu. Meskipun tangan dan matanya sibuk di depan ponsel bersama Riful. Ia juga kesal kenapa gadis itu datang? Atau lebih tepatnya kenapa target Luthfa hari ini harus Nantha banget? Seperti tidak ada anak lain saja.

"Udah? Capek, 'kan?" tanya Luthfa dengan santai, berdiri, lalu memasukkan tangannya ke saku celana. Tidak lupa sedikit bajunya bagian depan keluar dari ikat pinggang.

Nantha menggeram, kesalnya bertambah saat Luthfa kembali duduk dan memainkan ponselnya. Minza mendelik, kenapa dengan mudah teman laki-lakinya itu membiarkan kekesalan Nantha bertambah parah?

"Eh, Neng, mending ke kelas, deh, bentar lagi bel masuk," ucap Minza menengahi.

"Diem lo! Eh, Panu Babi! Gue sumpahin lo bolak-balik boker nanti!"

"Bacot banget, sih, lo, Cewek Manja!" seru Zero dengan nada tinggi, tidak tahan mendengar ocehan lebih panjang lagi. Laki-laki itu berdiri, menatap kesal Nantha. Lalu, ia melemparkan uang dua puluh ribu ke depan wajah gadis itu. "Nih, kalau mau duit! Nggak usah balik besok! Kalau nggak mau ikut PA, ya, udah nggak usah ganggu! Susah banget idup lo kek nenek-nenek buyut! Cewek manja numpang hits doang aja!"

Bukannya menerima uang yang dilempar Zero, mata Nantha berkaca-kaca. Seumur hidup, baru kali ini ia dibentak dengan kasar.

***

Camping HUT RI waktu itu memang berjalan dengan lancar. Hal yang tidak melancarkan adalah sikap Nantha yang selalu manja. Bahkan, meminta martabak manis di puncak gunung. Siapa juga yang mau membelikan? Akan tetapi, gadis itu mempunyai seribu satu cara untuk membuat lawannya kicep. Dengan ancaman, "Katanya solidaritas, mana?"

Untung saja Luthfa bisa menanganinya dengan membuatkan semangkuk bakmi ayam dan secangkir good day. Memang, sih, dua makanan dan minuman itu milik Nantha sendiri, tetapi yang memasak juga Luthfa. Terbalik, harusnya perempuan yang masak dan laki-laki tinggal menunggu hasil.

Beruntung ada kitchen set yang memudahkan. Meskipun memudahkan, tidak bisa Luthfa lupakan begitu saja saat Nantha merengek tidak mau tidur dan menginginkan power bank-nya. Serta menyuruhnya untuk memberi wifi hotspot.

Kawan, jangan dihujat, memang sudah sifatnya seperti itu. Nantha pasti mempunyai alasan mengapa harus bertingkah manja padahal kepada orang yang baru dikenal.

"Tetap aja itu ngerepotin! Lain kali nggak usah ajak cewek manja kalau ke gunung. Lo mau ngurusin hidup orang yang bahkan belum tentu ingat kebaikan lo nantinya?" Gusvi mengingatkan Luthfa agar laki-laki itu tidak membela Nantha yang baru ia kenal beberapa hari lalu.

Ineffable [END]Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon