22. Tak Ada yang Benar Peduli

28 4 1
                                    

Benar, 'kan? Kebanyakan orang mau berteman karena menginginkan sesuatu. Karena baik dan dimanfaatkan itu beda tipis.

***

Betapa senang Nantha ketika ia mendapat tawaran untuk menghubungi nomor kakaknya. Ia sempat mencatat nomor itu di buku belajarnya tadi.

Ketika dihubungi, laki-laki itu mengangkat dan berjanji untuk segera menjemput Nantha di rumah itu. Genta sudah berkata kalau ia tahu di mana rumah baru Ditya.

Gadis itu cukup lama bercakap dengan Genta dan menanyakan bagaimana kabar Wati. Katanya, wanita paruh baya itu sedang di rumah bersama saudaranya yang lain. Termasuk nenek juga.

Bibirnya terangkat untuk tersenyum dan berbicara tidak terlalu keras agar tidak terdengar dari luar. Sedangkan dokter hanya menatap dengan senyum kecil di bibir. Senang melihat pasiennya terlihat ceria kembali.

Awalnya, wajah itu layu dan tidak mempunyai semangat sehingga kadar kecantikannya berkurang. Ketika sudah tersenyum, seketika wajah itu seperti bunga yang baru disiram setelah berhari-hari kepanasan.

Ucapan terima kasih yang disertai dengan senyuman manis terus terlukis di wajah Nantha. Membuat dokter muda itu tersenyum salah tingkah.

"Oh, iya, karena sudah sore, Saya pamit dulu, ya. Lain kali janji akan datang untuk berkunjung."

"Lain kali ...." Senyum Nantha luntur, mengingat lagi bahwa besok ia akan berangkat ke Singapura.

"Saya doakan kamu bisa stay di Indo dengan mama dan kakak kamu. Juga orang yang kamu kasihi, ehm, saya tahu, kok."

Kembali tersenyum cerah, Nantha mengangguk dengan ucapan terima kasih seakan dokter itu telah menyelamatkan nyawanya.

"Terima kasih banyak, Dok." Refleks, Nantha mengucapkan kalimat itu dengan memeluk leher dokter. Membuat pipi dan jantung dokter menjadi tidak wajar.

"I-iya, tapi saya harus pulang sekarang."

Melepas pelukan, Nantha suka memandangi wajah dokter. Seperti sedang melihat kain putih yang lembut. Belum tersentuh benda yang dapat mengotori. Jerawat pun takut untuk tinggal. Seperti wajahnya Luthfa, segar dipandang.

"Maaf, ya, saya hanya bisa bantu kamu segitu saja."

"Terima kasih banyak, bagiku itu buanyak banget. Aku senang dan aku tersenyum setelah sekian lama hampir satu bulan tersiksa dengan wajah datar."

Cup!

Tiba-tiba saja Nantha mencium pipi dokter dengan rasa senang. Seperti sedang mencium boneka panda di kamarnya dulu. Sedang tidak dalam kondisi sadar.

"Astaga." Pipi dokter sudah panas sekali, seperti baru saja tertular demamnya Nantha. "Cepat tidur, makin nggak waras nanti!"

***

Mungkin Luthfa terlalu niat dan pantas menjadi stalker. Karena nyatanya laki-laki itu sekarang berdiri persis di depan gerbang sebuah rumah mewah nan megah. Yang ia yakini adalah tempat disanderanya Nantha saat ini.

Ia juga yakin kalau Nantha sedang sedih dan stres di dalam sana, karena setahunya tidak pernah sekali pun Nantha keluar dari rumah. Ia juga tahu berapa personil di dalam sana. Terdapat satu orang pria, satu orang wanita, dan satu anak kecil yang biasanya bermain di pekarangan bersama anak tetangga.

Ineffable [END]Where stories live. Discover now