28. Tanpa Pamit

24 3 0
                                    

Kemarin, kamu datang dengan sebuah harapan besar. Hari ini ... kenapa kamu tidak lagi datang? Jadi datangmu untuk pergi?

***

"Innalillahi wa innailaihi roji'un, mama kamu ... sudah tidak ada."

Satu kalimat yang mampu menyihir Nantha menjadi seperti orang linglung yang berlinangan air mata.

Dada Luthfa pun ikut sesak. Mendengar ucapan itu seakan menusuk hati dan jantungnya.

Bagaimana tidak, coba bayangkan, saat ibu, sosok yang melahirkanmu, sosok yang menemanimu dari kamu lahir sampai sebesar ini, harus pergi untuk selamanya. Sosok yang biasanya akan kamu peluk ketika malam hari kamu tidak bisa tidur. Sosok yang akan kamu cium pipinya ketika kamu pulang sekolah. Sosok yang kamu cium tangannya ketika kamu begangkat ke mana saja. Dan sosok yang selalu melindungimu saat kamu ketakutan dengan suara petir di malam hari.

Yang dulu selalu memarahimu hanya karena bermain hujan-hujanan, menjewer telingamu ketika kamu tak menurut. Sekarang beliau harus pergi tanpa suara, tanpa adanya kalimat perpisahan. Tanpa adanya pelukan terakhir.

Selama-lamanya. Tak akan pernah kamu menjumpai dan memeluknya lagi. Tak akan pernah kamu mencium tangan, dan pipinya lagi. Tak akan ada lagi yang memarahimu, menghiburmu saat sedih, dan menyuapimu saat makan.

Wajah yang selalu memberimu kenangan, inspirasi, semangat, kini harus berakhir sampai di sini. Harus kamu lihat terakhir kali dengan wajah tak sama, pucat. Bahkan, besok tak ada lagi.

"MAMA!"

"Pemakaman Bu Wati akan dilakukan di rumah sendiri. Pihak rumah sakit hanya mampu membantunya sampai sejauh ini. Kalian bisa menghubungi keluarga lain yang mungkin bisa membantu." Suster cantik yang dulu menunjukkan jalan kepada Luthfa itu tak tersenyum. Berucap dengan suara kecilnya.

Luthfa mengangguk, masih memegangi bahu rapuh Nantha. Laki-laki itu sempat menghubungi orang tuanya. Tak lupa mengubungi nomor keluarga Nantha di ponsel gadis itu.

Meskipun dimakamkan besok, tetapi mayat Wati harus dibawa pulang sekarang.

Tidak pingsan, Nantha tetap stay dengan pandangan kosong dan sesaat kemudian menangis lagi. Ia teringat orang selalu ia sayangi, yang ia sukai masakan enaknya.

Genta datang bersama Ditya dan keluarga lainnya. Genta menangis, ingin memarahi bahkan menonjok Ditya, tetapi sadar ia sedang di rumah sakit.

"Kamu bisa tinggal bersama Papa, Nantha," ucap Ditya. Seketika membuat tangisan Nantha kembali mengeras. Ingin Nantha menyuruh Luthfa menonjok pipi papanya.

***

Jujur, Nantha takut dengan hantu, orang mati, dan semacamnya. Saat masih kecil ia memang suka bercerita tentang hal itu. Namun, karena Wati dan Ditya selalu melarangnya, Nantha penasaran. Mengapa tidak boleh membicarakan hal itu, dan rasa penasarannya dijawab oleh Genta. Laki-laki itu berkata, kalau mereka membicarakan hantu, nantinya hantu itu akan datang sampai malam dan membuatmu tak bisa tidur.

Sehingga sampai saat ini, Nantha takut dan tak pernah berani walaupun sebatas mendengar ceritanya saja. Membaca saja sudah membuat bulu kuduknya merinding.

Namun, tidak untuk hari ini. Orang yang ada di depannya adalah Wati, mama kandungnya. Gadis itu sama sekali tak takut.

Jenazah Wati ditidurkan di kasur biasa yang masih bergaya lama. Nantha duduk di kursi sampingnya dan menyenderkan kepalanya di pinggiran kasur. Ketika sampai di rumah tadi, Nantha langsung memeluk tubuh Wati dan menangis kencang.

Ineffable [END]Where stories live. Discover now