8. Kepikiran atau Memikirkan?

44 12 14
                                    

Lapangan futsal ramai dengan sorakan orang-orang menonton latihan Luthfa dkk. Salah satu di antara penonton itu terdapat satu orang yang berusaha menyembunyikan diri. Ia hanya akan berteriak dengan kencang ketika pemain idolanya mencetak gol. Sehingga membuat orang yang di dekatnya merasa terganggu.

"Oh ... dengan Bang Luthfa yang kini sedang menggiring bola menuju gawang lawan. Ayo! Ayo! Ayo!" Bocah cilik itu, Rendra, bergumam sendiri layaknya wasit di pertandingan sepak bola pada umumnya. "Yah ... akhirnya bola direbut oleh sosok bernama punggung Bakron! Ayo, temennya Bang Luthfa, buruan rebut bolanya!"

Teman-teman Rendra yang lain asyik juga dengan pertandingan latihan ini. Tim lawan berasal dari sekolah sebelah yang tidak kalah kece dan pandainya. Mereka sampai tidak duduk agar bisa lebih menikmati acara menontonnya.

***

Di tengah kericuhan sekolah yang sumpek dan tidak menyenangkan bagi Genta ini, ia berhasil menyelinap masuk.

"Di mana terakhir kali lo megang kunci itu?" tanya Genta kepada adiknya.

Wajah Nantha tidak menyenangkan untuk dipandang, tetapi Genta tidak peduli. Hal yang nanti akan ia lakukan apabila kunci itu tidak mereka temukan adalah hal mengerikan bagi Nantha. Tentu saja membuat gadis berambut hitam kebiruan itu sedikit sedih. Lagi.

"Lupa," jawabnya singkat, padat, dan tidak jelas.

Kalau saja kunci duplikat masih ada, Genta tidak mau melakukan hal repot seperti ini.

Mereka mulai berpencar untuk mencari ke semua tempat. Nantha hanya mengunjungi tempat yang ia ingat tadi siang datangi. Ruang kelas, koridor deretan kelas X, kelasnya, kantin, parkiran. Hanya itu.

Namun, belum juga ketemu. Genta pun melakukan hal sia-sia, membuang waktu yang seharusnya ia gunakan untuk bekerja.

"Kei ... terpaksa lo harus relain tabungan lo selama ini untuk beli kunci baru."

Mereka sedang menyeka keringat di tempat motor mereka terparkir. Mencari sesuatu yang kita tidak tahu tempatnya itu melelahkan.

"Ha-harganya berapa?" tanya Nantha.

"Belum buat bayar pick up pengambilan motor ini. Sebenarnya, bisa aja lo seret ke tempat beli kunci baru, tapi butuh berapa tenaga? Terserah lo, ini motor lo, gue nggak mau banyak urusan. Urusi aja sendiri, lo harus mandiri!"

Lo harus mandiri.

Literally, Nantha tahu abangnya adalah sosok penyayang yang tidak tega melihat adiknya sedih. Makanya ia berusaha sampai sejauh ini. Menyuruh Nantha tegar, membantu mencari kunci padahal sedang sibuk, mengajari Nantha agar gadis itu mandiri dan tidak mudah dimanfaatkan oleh orang lain.

"Bang ... u-uang gue habis," gumam Nantha. Tidak berani berkata dengan suara keras atau abangnya akan meledak di tempat ramai ini.

"Apa lo bilang?" tanya Genta dengan suara kecil, tetapi penuh penekanan.

Hampir saja Nantha kembali terisak. Ia takut.

"Haish, ada yang pacaran. Ayok, baliklah," ucap seorang bocah laki-laki yang hendak ke parkiran malah menemukan dua sejoli sedang berduaan. Siapa lagi kalau bukan Rendra dan kawan-kawannya. Mereka balik arah menuju tempat lain agar bisa bersembunyi. Kalau-kalau Luthfa melihat.

Di sisi lain, latihan sedang istirahat saat jam sudah menunjukkan pukul empat sore. Luthfa duduk di samping yang lain, di tribun terbawah. Laki-laki itu mengipaskan tangannya. Hendak membuka baju kala keringat terasa menetes deras di dada dan punggungnya, tetapi ia sadar tindakannya tidak sopan. Meskipun teman-temannya banyak yang melakukan hal itu.

Ineffable [END]Where stories live. Discover now