19. Pemaksaan

25 6 4
                                    

Bukan hanya soal suka, hati dan perasaan ikut bersuara.

***

"Ayo, pulang!" Nada dingin Genta membuat Luthfa tidak tahu harus berbuat apa. Ia tahu benar kalau kakaknya Nantha adalah sosok yang protektif dan tidak bisa diganggu.

Sehingga sang ketua hanya diam saja saat tangan salah satu anggotanya ditarik kasar oleh Genta. Mau bantu juga bagaimana, tak ingin ikut campur urusan mereka. Bahkan, bogeman satu bulan yang lalu masih terasa ketika melihat wajah Genta. Sepertinya ada yang memberitahu laki-laki itu tentang kegiatan anak PA hari ini, sehingga tanpa angin tanpa hujan laki-laki itu datang.

Kepergian Genta dan Nantha disaksikan oleh semua anggota ekstra PA. Sebelum benar-benar pergi, laki-laki berambut tanpa poni itu menyempatkan diri untuk memberi tatapan dingin dan tajam pada Luthfa.

"Bang," panggil Nantha. "Gue bisa jelasin, kok. Ini bukan salah mereka, tadi memang sama guru disuruh survei tempat buat camp minggu depan."

Nihil. Seberapa keras Nantha memberi penjelasan kepada Genta, lelaki itu tak menoleh. Hanya diam dan lanjut menyeret Nantha menuju motornya terparkir.

"Bang, tolong ... sakit. Aku janji nggak bakal ngulang. Hari ini kepaksa banget karena tuh guru jahat. Bang, please ...."

Nantha menghentikan diri dan menangis sesenggukan. Genta melihatnya dengan tatapan datar. "Gue nggak mau lo kenapa-napa. Bahaya, ini di luar sekolah. Mata-mata Ditya ada di sana juga."

Akhirnya, laki-laki itu memeluk tubuh Nantha dengan erat. Menciumi puncak kepalanya.

"Maksud kalimat terakhir apa?"

"Maksudnya .... Maafin Abang, takut banget kalau kamu kenapa-napa. Gue nggak mau kamu putus sekolah karena sering keluar bersama lawan jenis. Gue emang over protektif, tapi ini demi kamu, Kei."

Genta melepas pelukannya dan kembali menyeret Nantha ke parkiran motor. Nantha masih menangis bahkan sampai terisak. Entah mengapa ia takut sekali dengan kenyataan yang akan menimpanya nanti.

Sesampainya di tempat parkir, mata laki-laki itu memicing karena baru beberapa menit ditinggal, motornya sudah kepenuhan motor lain. Tempatnya di depan, terapit oleh banyak motor. Sehingga harus mengeluarkan motor-motor lain satu per satu.

"Tunggu di sini, ya," ucapnya pada Nantha.

Mungkin ucapan terakhirnya sebelum ia tidak lagi menemukan adiknya di sana. Dan sebuah penyesalan yang datang di akhir karena tadi gegabah mengajak adiknya pulang padahal sedang aman.

***

Gadis itu membuka kelopak matanya tepat saat sebuah cahaya mengenai. Ia merasa baru saja terbangun dari tidur, tetapi sejak kapan ia tidur? Sama sekali tidak ingat. Yang jelas tenggorokannya terasa kering seperti belum minum selama berhari-hari.

Yang ada di pikirannya adalah ... Wati. Wati yang baru pulih dari sakitnya, Genta yang membuat wajah Luthfa lebam. Serta ... Luthfa yang mengajaknya berfoto. Semakin lama memorinya kembali. Ia mengingat satu per satu kejadian sebelum ia tertidur dengan pulas seperti baru pingsan.

"Ah, iya."

Ia diculik.

Terdengar suara percakapan seseorang di dekat sini. Suaranya semakin mendekat ke arah ruangan dengan nuansa hijau tosca ini. Seperti memang hendak menuju kamar tempat Nantha.

Ruangan ini bisa disebut sebagai kamar sederhana. Karena hanya terdapat satu keranjang tidur, satu almari berpintu cermin, satu meja, dan satu kursi. Tidak ada hiasan dinding. Hanya ada jendela dengan gorden berwarna kuning emas.

Ineffable [END]Where stories live. Discover now