21. Help Me, Please!

25 5 4
                                    

Kamu hanya akan tahu bagaimana rasanya ditinggalkan saat kamu sedang sendiri. Jadi, jangan coba untuk tidak setia.

***

"By the way, sekarang Nantha di mana?" tanya Luthfa hati-hati. Takut menyinggung Genta dan membuat laki-laki itu marah karena dengan tidak tahu dirinya menanyakan keberadaan Nantha.

Luthfa memang bukanlah badboy pada umumnya, tetapi ia tentu memiliki rasa takut dan percaya diri di saat tertentu. Atau bahkan bisa bersamaan.

"Lo nggak kapok, ya, udah gue pukuli berkali-kali? Masih juga berani ke hadapan gue. Nanyain Nantha pula." Genta mendengkus.

Luthfa menghela napas pelan, menatap hal lain.

Genta mengubah posisi duduknya. Mereka terpisahkan oleh satu kursi kosong. "Sebenarnya ... gue nyesel kenapa waktu itu malah ninggalin dia sendirian. Mungkin lo sosok cowok yang bertanggung jawab, tapi gue nggak mau nyerahin adik gue ke orang lain." Genta menarik napas dalam, lalu mengembuskannya pelan.

Si lawan bicara masih bingung harus mengerti perkataan itu bagaimana. Ia kira kalau Genta akan marah karena ia tidak meminta izin dulu kalau mau mengajak Nantha jalan. Malah ia kira Genta akan menonjoknya lagi. "Maaf, maksudnya gimana, ya?" Ternyata malah menjelaskan hal yang tidak ia pahami sama sekali.

"Nantha diculik."

Dua kata yang seketika membuat Luthfa tersentak. Tidak menyangka, mana mungkin? Bukankah waktu itu sudah bersama orang terpercaya, yaitu kakaknya sendiri?

***

Sudah hampir satu bulan Nantha harus terkurung di sangkar menyakitkan dan menyebalkan itu. Tentu saja rumah Ditya.

Sebenarnya, Nantha bahagia karena ia bisa dekat dengan papanya. Namun, bahagia itu tertutup oleh sebuah kabut bernama benci. Bagaimana tidak, di sana Nantha harus jauh dengan mama dan kakaknya. Serta ia juga tidak boleh keluar dari rumah ini.

Gadis itu menjalani home schooling setiap hari, kecuali hari Minggu. Di ruangan yang dijaga ketat, lockdown. Bahkan, tidak pernah Ditya mengurungkan waktu untuk melihat Nantha di kamar atau tidak. Selain itu, Nantha juga tidak dikasih waktu untuk memegang ponsel.

Seperti malam ini sebelum tidur, Ditya mengecek kamar gadis itu. Tersenyum, pria itu menatap anak gadisnya yang semakin hari terlihat semakin kurus dan stres. Mungkin memang tidak disadari olehnya, tetapi pria itu cukup puas dengan ini semua.

"Sebenarnya, sudah lama saya mau tanya ke Anda," kata Nantha dengan bahasa bakunya. Gadis itu belum sekali pun menyebut 'papa' setelah kepergiannya delapan tahun lalu. Ia pikir itu tidak perlu.

Menghela napas pendek, terlihat wajah lelah Ditya menatap kesal Nantha. "Sudah saya katakan, panggil saja papa. Masa terus pakai bahasa baku, sih? Kan, sama papa sendiri."

Nantha duduk di kasur, menyingkap selimutnya. "Apa, sih, tujuan Anda menculik saya? Memangnya begitu obsesi, ya, bisa dapatin saya bahkan sampai membiarkan Mama dan Kakak di rumah mencari? Kalau sampai Mama kenapa-napa ... lihat saja apa yang akan saya lakukan kepada Anda!" Kalimat tajam Nantha itu sama sekali tak mengubah ekspresi papanya.

Setiap malam, setiap waktu di kamar itu, Nantha selalu menangis. Gadis berwajah tirus dengan alis tipis cantik itu selalu memikirkan bagaimana kondisi keluarganya di rumah. Wati mengidap stroke, kalau sampai kambuh dan masuk rumah sakit lagi, Nantha tidak tahu uang dari mana yang akan ia bayarkan.

Ineffable [END]Where stories live. Discover now