"DONT LOOK BACK!"

4 0 0
                                    

Genre : Fiksi Apocalypse


Aku dan kedua putriku terpaku mendengarnya. Istriku menjerit nyaring setelah dilihatnya cahaya jingga yang berasal dari kobaran api itu. Suara lolongan dari orang-orang yang menjerit kesakitan bagai sekawanan tawanan yang disiksa oleh algojo, masih menggema menghiasi suasana malam menjelang subuh. Cahaya jingga itu pun masih bersinar dengan hebatnya.


-Beberapa minggu sebelumnya-


Aku dan keluargaku baru saja pindah ke kota ini, satu dari beberapa kota yang berdiri diantara lembah dan sungai serta danau besar yang tenang. Kami memilih mendirikan rumah di sudut kota karena padang rumputnya cukup luas untuk beternak. Rumah yang kami bangun pun tidak terlalu besar karena memang aku hanya tinggal bersama istri dan kedua putriku.


Ada alasan kenapa aku memilih tinggal di kota ini. Kudengar kota besar yang makmur ini adalah salah satu pusat perdagangan paling diminati. Mulanya aku bersyukur bisa pindah ke kota ini karena selain hasil alam dan produksinya yang melimpah, para penduduknya juga dikenal ramah dan bersahabat.


Hingga akhirnya aku tidak bisa lagi menyangkal perasaan yang terbersit di hatiku seolah memberitahuku bahwa ada yang tidak beres dengan kota ini.


Ternyata benar, ada kebiasaan buruk menjijikan yang biasa mereka lakukan. Bahkan saking buruknya, mereka ikut mempengaruhi istriku sampai dirinya ikut-ikutan berkumpul bersama mereka dan melakukannya bersama-sama. Tidak cukup mereka melakukannya pada sesama mereka, para pengunjung kota pun ikut menjadi korbannya tanpa ada yang berhasil lolos. Sebuah kebiasaan yang bahkan aku sendiri pun tidak cukup kuat untuk mengatakan apalagi membayangkannya.


Hitungan hari semakin berlalu, dan perbuatan biadab mereka semakin keterlaluan. Tidak kuketahui siapa biang kerok yang memulainya. Berarti tidak ada cara lain bagiku selain menasehati mereka atas perbuatan kejinya itu ... Dimulai dari istriku.


"Sudah tidak berharga lagi kah diriku bagimu, sehingga kau menjadikan dirimu serupa mereka?"


Tak ubahnya anak nakal yang dibentak orang tuanya, istriku terdiam. Menyesal atas apa yang dilakukannya. Wajahnya tertunduk dengan rona penyesalan yang memerah seolah berkata -apa yang sudah kulakukan?-, dalam pelukanku yang senyaman selimut sutra, air matanya mulai berurai.


Semakin banyak masyarakat di luar sana yang kuingatkan atas kesalahan mereka, semakin banyak pula yang akhirnya sadar dan mulai meninggalkan kebiasaan buruknya. Perlahan tetapi pasti, kota ini kembali seperti sediakala. Kota yang makmur dan beradab.


Ibarat hujan yang pada akhirnya akan cerah, ibarat badai yang pada akhirnya akan mereda, nasehat yang kuberikan pada mereka ternyata hanya sementara bersarang di hati mereka yang sudah membatu. Kembali mereka mengulangi kebiasaan setan itu, bahkan kali ini lebih buruk lagi.


Saat aku akan keluar rumah, aku melihat mereka membantai orang-orang yang memilih untuk mendengarkan nasehatku. Pilu rasanya melihat nyawa mereka terputus di hadapan bilah-bilah pisau yang menyayat leher mereka tanpa ampun, di depan rumahku sendiri. Padahal mereka hanya memilih untuk mendengarkan ajakan baikku.


"Ketahuilah, dirimu hanyalah pendatang baru disini. Tiada hak bagimu untuk mencampuri urusan kami apalagi sampai menilai bahwa yang kami lakukan ini salah. Dirimu hanyalah orang yang berpura-pura mensucikan diri. Jika engkau masih mencampuri urusan kami, maka kami akan mengusirmu secara paksa dan bahkan lebih buruk, engkau akan kami jadikan seperti mereka." Mereka menyerapah panjang lebar kearahku sembari menunjuk kearah mayat-mayat yang mereka sembelih barusan.


"Diriku tiada maksud untuk mencampuri urusan kalian melainkan untuk memperingatkan kalian betapa kalian telah melampaui batas."


Bukannya sadar akan kesalahan mereka, justru mereka menantang balik. "Jangan banyak berdusta!"


Bukan hanya mereka, istriku pun begitu. Kembali mengulangi kesalahannya, bahkan kali ini dia mulai berani membentakku dan kedua putriku yang mencoba mengingatkannya.


"Tidak usah kau berlagak sok suci, bagimu urusanmu dan bagiku urusanku!" bentaknya kearahku sebelum membanting pintu, kembali kepada mereka di luar sana.


Air mataku kembali berurai. Hanya kedua putriku yang masih disini sebagai pelipur lara, berusaha menenangkanku. Apa yang harus kulakukan? Adakah cara lain untuk mengembalikan mereka ke jalan yang lurus?


"Ayah, ada tiga orang yang ingin menemui Ayah!" Putriku kembali dari mengambil air di sungai bersama dengan tiga orang pria tak dikenal yang datang untuk bertamu. Batinku merasa bahagia karena bisa melayani tamu yang datang dari jauh, namun juga diliputi kecemasan karena aku tidak tahu apa tujuan mereka kemari.


Dan bagaimana kalau penduduk kota ini mengetahui kedatangan mereka lantas datang kemari untuk menangkap mereka, mengingat kebiasaan mereka pada pendatang dikenal tidak pilih-pilih korban.


"Selamat datang tuan-tuan sekalian, silahkan masuk," ujarku menyambut kedatangan mereka. Setelah kupersilahkan duduk, mereka mulai membuka obrolan.


"Suatu kehormatan bagi kami karena menjadi orang-orang yang menyampaikan kepada tuanku bahwa saudara jauh tuan telah melahirkan seorang putra." Salah satu dari mereka memulai perbincangan ini dengan penuh senyuman. Aku bersyukur mendengarnya.


"Meski begitu, tujuan sebenarnya atas kedatangan kami kemari adalah untuk menyampaikan kabar lain."


"Kabar apakah itu, wahai tuan-tuan sekalian?" Aku mulai diliputi kepanikan ketika kudengar ada beberapa orang pria mulai mendekati pintu rumahku. Padahal sebelumnya aku sudah menyuruh ketiga putriku untuk menjaga rahasia agar tidak ada yang tahu kedatangan tiga tamuku ini. Tapi bagaimana bisa mereka datang kemari?


"Cepat keluar! Istrimu memberitahu kami bahwasannya ada tiga orang pria yang bertamu dirumahmu. Serahkan mereka sebelum kami melakukan sesuatu yang buruk pada dirimu!"


Aku mulai panik, sekuat tenaga kutahan pintu yang kayu penguncinya semakin keropos karena terjangan mereka yang di luar.


"Tidak, jangan ganggu ketiga tamuku!" teriakku memohon.


Para tamuku kini bangkit dari duduknya dan menyuruhku untuk menjauh dari pintu. Bersamaan dengan itu, pintu rumahku hancur. Tiada lagi penghalang antara mereka dengan tamuku yang mereka incar.


Namun belum sempat sebagian dari mereka berhasil melewatinya, tiga tamuku meniupkan kearah mereka ....

... Asap kuning bercahaya.


Kepulan asap itu menyebar di luar rumah. Mereka yang terkena asap itu spontan meraba-raba karena buta akibat cahaya itu.


"Lekas pergi dari sini, tuanku. Tinggalkan kota ini segera. Bawa keluargamu dan kami memohon satu hal."


"Apa itu?" tanyaku.


"Jangan menengok ke belakang, apapun yang terjadi!"


"bagaimana dengan tuan-tuanku sekalian?" tanyaku pada mereka.


"Jangan khawatirkan kami, selamatkan diri kalian, tuanku!"


Melalui pintu belakang, aku dan kedua putriku keluar dari rumah. Saat sudah beberapa jauh, kudengar istriku berteriak memanggilku dari belakang. Dia yang awalnya memihak pada penduduk kota, kini kembali mengejarku bagai anak manja.


Meski hati ini sempat sakit olehnya, namun dia tetaplah istriku. Kami pun berhenti sebentar untuk menunggunya tanpa menoleh ke belakang, lalu kami berlari lagi setelah kami berkumpul bersama.

***


Fajar nan kelam mulai menyingsing.


Suara gemuruh mengerikan menggema di belakang sana. Terdengar pula suara lolongan parau dari para penduduk. Aku dan kedua putriku tetap melanjutkan perjalanan, namun istriku malah menengok ke belakang. Terbelalak dengan apa yang dilihatnya.


Seisi kota dihujani begitu banyak bola api yang menyala-nyala. Tanah bergetar membuat bangunan di sana hancur lebur. Istriku yang menyaksikannya terpaku tanpa bisa bergerak. Sepersekian detik berikutnya, ia menjerit nyaring.


Ia tertinggal jauh di belakang sana, air mataku berurai membayangkan apa yang terjadi padanya.


"Tidak ada yang bisa kita lakukan, ayah." Hanya itu yang diucapkan kedua putriku, mencoba mengingatkanku kembali apa yang dikatakan ketiga tamuku.


Kami pun melanjutkan berjalan meninggalkan kota. Sebuah kota yang tercatat dalam sejarah sebagai kota yang tenggelam dalam darah dan dosanya sendiri.

.
.
.


Ini sudah pernah terjadi


Hanya soal waktu sebelum terulang kembali.

.


Ditulis pada tanggal: 23 Juli 2016

CLEMENTINE'S ONE SHORT STORYWhere stories live. Discover now