MIRANTI, GADIS DI TEPI SUNGAI

5 0 0
                                    

Genre : Flashback, Drama

Sedari tadi ia membenamkan setengah tubuhnya ke dalam air di pinggiran sungai itu. Menutup wajahnya dengan rambut yang tergerai panjang. Aku memandangnya dari kejauhan. Miranti Widiastusti, ia sudah dewasa, terlihat dari lekuk indah tubuhnya dengan kulit yang putih sintal di balik gaun putih yang dikenakannya.


Sedikitpun aku tidak berani mendekatinya. Wajah pucat murung dengan ekspresi datar itu membuatku menahan diri. Ia tidak boleh tahu kalau aku mengawasinya dari kejauhan. Bisa gawat kalau ia sampai melihatku.


Aku jadi ingat kisahnya sejak ia kecil. Saat itu Miranti kecil masih berwujud balita imut nan menggemaskan. Orang tua dan para tetangganya sangat menyayanginya. Ia menjalani kehidupannya di PAUD dengan sangat bahagia, tentu saja karena ia pandai bergaul dengan siapa saja.


Kebanyakan anak-anak pasti akan menangis karena tidak bersama orang tuanya saat berangkat sekolah. Tidak bagi Miranti, ia begitu ceria dan bersemangat sampai-sampai ia tidak perlu lagi berangkat ke PAUD yang berjarak hanya beberapa meter dari rumahnya dengan diantar oleh ibunya.


Ibu dan Ayah Miranti bekerja di sebuah pasar terapung di salah satu sudut sungai itu sebagai pedagang. Lingkungan tempat tinggal Miranti memang berada di pinggir sebuah sungai lebar yang membentang panjang. Mereka berdua pergi setiap pagi dan pulang saat siang, bersamaan dengan jadwal pulang Miranti dari PAUD. Pernah beberapa kali, guru pengajar disana mengantarnya pulang dan menemaninya bermain di teras rumah sembari menunggu orang tuanya pulang dari pasar terapung.


Setiap hari minggu ataupun libur panjang seperti sekarang, Miranti selalu ikut bersama kedua orang tuanya ke pasar. Selain karena mereka tidak mampu menyewa pengasuh bayi atau semacamnya, toh Miranti juga menyukai suasana ramai pasar terapung itu.


Namun kebahagiaannya terpaksa harus sirna. Sekoci sungai yang ditumpangi Miranti dan orang tuanya terbalik akibat menghantam gelondongan kayu. Para warga berusaha menolong mereka, namun takdir berkata lain. Seolah kamis itu menjadi akhir kehidupan bahagia Miranti.


***

Miranti yang malang. Ia selalu berada di pinggir sungai itu tiap magrib di malam jumat. Wajahnya pucat dan ekspresinya datar meratapi nasibnya yang malang. Ingin sekali kudekati dan kupeluk dirinya, menenangkan hatinya. Namun aku takut dia akan terkejut saat menatap ibunya sendiri yang berada di tengah-tengah sungai dengan wajah pucat. Terutama sejak aku dan suamiku tewas tenggelam di sungai ini waktu itu. Meninggalkan Miranti sendirian, putri semata wayangku yang paling kucinta.


Ditulis pada tanggal: 24 Juni 2016

CLEMENTINE'S ONE SHORT STORYWhere stories live. Discover now