PART 4

129K 12.7K 763
                                    

4

Lucy tak mampu berkata-kata. Dia berdiri, lalu berjalan mundur sembari memandang Dean dengan tatapan heran. Langkah Lucy tertahan oleh ranjang di belakangnya. Dia pun sadar dengan situasi yang tak nyaman ini.

"Lo pergi, deh, nanti orangtua gue masuk terus salah paham," kata Lucy waswas, memandang Dean yang masih duduk menyandarkan punggungnya di dinding dengan satu kaki tertekuk.

"Tinggal kunci pintunya," balas Dean datar.

"Maksud gue, harusnya lo segera pergi dari sini."

"Tapi gue masih ingin sembunyi."

"Cari tempat lain?"

"Enggak mau."

Pandangan mereka beradu lama. Lucy kehabisan kata. Dean lalu berpaling memandang ke arah lain sambil mengembuskan napas panjang. "Gue mau di sini. Tidur."

Lucy membuka mulut, tapi tidak mampu mengeluarkan satu kata pun.

"Gue hitung sampai tiga." Lucy mengangkat jemarinya. "Lo harus segera pergi atau gue laporin ke mama papa gue? Satu. Dua."

Dean kembali memandangnya tanpa ekspresi.

"Ti...." Lucy menggantung kalimat. Dean justru menunggunya menyelesaikan kata itu. "Ga...." Bersamaan dengan jari manis Lucy yang terangkat. "Pergi...."

Dean masih duduk di tempatnya. "Nggak mau. Gue masih pengin di sini. Bareng lo."

"Lo nggak waras!" seru Lucy, tertahan. Dia menutup mulut karena kecoplosan mengatai Dean.

Apakah setelah ini riwayatnya akan tamat?

"Memang," balas Dean sembari berdiri mendekati Lucy. "Satu malam. Nggak. Nggak. Cuma beberapa jam."

"Nggak!" seru Lucy lagi. "Lo harus pergi sekarang atau gue...."

Dean menaikkan alisnya. "Atau?"

"Gue ... gue teriak!" Lucy meneguk ludah.

Dean memegang saku celana belakangnya. "Gue nggak bawa pistol."

Dan Lucy langsung gemetaran di tempatnya berdiri, tetapi yang dilihatnya setelah itu adalah senyum kecil yang terbit di bibir Dean.

"Gue bercanda." Kedua tangan Dean terangkat. "Nggak ada apa-apa. Jangan takut."

Berani-beraninya. Lucy menggeram dalam hati. Andaikan pertemuan pertama mereka tidak langsung memberikan kesan menyeramkan kepada Dean, maka Lucy sudah dari tadi berteriak meminta tolong kepada mama papanya.

Lalu apa lagi sekarang? Dean berjalan ke kursi belajarnya, duduk di sana seperti patung dengan tatapan yang lurus mengarah ke Lucy. Lagi-lagi mereka berada di situasi di mana hanya ada keheningan sambil saling menatap.

"Ah, gue pengin ke kamar mandi." Lucy bergerak kaku. Dia bisa merasakan pandangan itu seolah menusuk ke punggungnya. Setelah keluar dari kamar, Lucy berlari ke kamar kedua orangtuanya. "Mama! Papa!" teriaknya sambil terus mengetuk pintu. "Maaa! Paa! Buka pintunya!"

Sesekali Lucy melirik pintu kamarnya yang tertutup rapat. Lucy tak tenang sampai niatnya untuk menjalankan aksi secara halus berubah menjadi menegangkan. Suaranya sudah pasti didengar oleh Dean di kamar sebelah.

Pintu kamar terbuka dan papanya muncul dengan mata menyipit.

"Papa! Tolongin aku di kamar ada penyusup, Pa!" bisik Lucy tertahan. Matanya berkaca-kaca saat melihat pintu kamarnya sendiri.

"Kamu habis mimpi buruk apa gimana?" tanya papanya heran.

"Bukan mimpi buruk." Lucy menunjuk kamarnya dengan tangan gemetar. "Di kamar. Di kamar ada orang... ada orang...."

Papa melirik pintu kamar Lucy. Laki-laki paruh baya itu melangkah ke kamar Lucy dan Lucy mengekor di belakang papanya dengan kedua kaki lemas. Setelah pintu kamar dibuka oleh papa, Lucy refleks bersembunyi di belakang punggung papanya dan mengintip pelan melihat tempat di mana terakhir kali Dean berada.

"Nggak ada siapa-siapa, kok." Papa memegang daun pintu sambil mengedarkan pandangan ke sekelilingnya.

"Tadi ada...." Lucy menatap jendela kamarnya yang tertutup rapat. "Beneran."

Apakah Dean sudah pergi?

Papa memegang kepala Lucy kemudian menyingkir. "Udah. Tidur sana. Hoam."

"Papa masih setegah sadar, ya?" tanya Lucy kepada papanya yang berjalan lunglai kembali ke kamarnya. Lucy memandang kamarnya dan kembali cemas. Dia menutup pintu dan diam sesaat di sana. Kembali dia mengedarkan pandangan. Benar. Dean sudah tidak ada. Lucy menuju jendelanya dan melihat jendelanya terkunci rapat.

Terkunci rapat?

Itu artinya terkunci dari dalam.

Sebuah tangan tiba-tiba menarik perut Lucy dari belakang. Bersamaan dengan bekapan di bibir Lucy yang hampir berteriak.

Lucy menegang di tempatnya. Dia bisa merasakan embusan napas dari seseorang di tengkuknya dan pelukan erat yang hampir membuat Lucy tak bernapas.

Dean masih ada di kamarnya.

"Berani lapor, ya," bisik Dean di telinga Lucy. Tangannya di mulut Lucy berpindah. Tanpa sadar air mata Lucy sudah mengalir di pipi. Lucy gemetar saat Dean bukan lagi meremukkan tubuhnya, tetapi mendekapnya pelan. Pandangan Lucy hanya bisa tertuju ke derasnya hujan di luar sana.

"Lo nggak akan bisa keluar dari hidup gue setelah ini. Lucy, lo milik gue. Satu-satunya."

***


thanks for reading!

love,

sirhayani

Deal with A Possessive BoyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang