PART 11

97.9K 9K 734
                                    


11

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

11

Setelah Lucy menangis, Dean membawanya ke tempat tidur dan memeluknya. Lucy tak ingin memandang Dean maka dia membelakangi cowok itu dan membuat Dean hanya bisa menatap rambut Lucy. Lucy tertidur setelah itu dan Dean masih di belakang Lucy, memeluk gadisnya hingga terbangun dengan mata sembab.

Hari ini, untuk pertama kalinya hujan turun di siang hari. Dean tidak segera pergi. Saat tak sengaja melihat Lucy berlari kencang keluar dari sekolah, dia buru-buru pergi mengambil jalan pintas untuk bisa sampai di rumah Lucy lebih dulu.

Jendela Lucy tidak terkunci. Dia masuk tanpa sepengetahuan siapa pun dan hampir ketahuan mama Lucy saat perempuan paruh baya itu menghampiri rumah tetangganya.

"Kenapa belum pulang juga?" tanya Lucy tanpa mau repot berbalik menatapnya seperti biasa.

"Gue masih pengin bareng lo."

Lucy menghela napas, mencoba berani.

"Gue nggak suka rumah. Suka di sini." Dean mendekatkan dagunya di puncak kepala Lucy. "Ada lo."

"Kenapa lo mikir gue pelakunya?" Lucy memegang tangan Dean yang memeluknya erat. "Kenapa diam?"

"Gue...," Lucy menjeda, agak ragu mengatakannya, "takut sama lo."

Lucy berbalik menghadap Dean dan Dean langsung mengusap kelopak mata Lucy yang masih tertutup. Terkadang Dean memperlakukannya seperti ini, mengelabui ketakutannya dengan perlakuan-perlakuan manis tak terduga untuk beberapa saat. Kemudian saat cowok itu mulai bicara, Lucy kembali takut. Caranya bicara dan intonasi suaranya selalu terdengar seperti ancaman. Meski Dean tak berniat untuk mengancam.

Namun, memang ada saat-saat di mana Dean akan mengancamnya dan membuatnya ketakutan hingga dia tak bisa menahan sesenggukannya.

Lucy berjanji tidak akan menangis lagi.

Dia takut kepada Dean karena hasil sugesti dari pikirannya sendiri bahwa Dean adalah manusia berdarah dingin yang bisa membunuh siapa saja yang mengganggu jalannya. Ada saat di mana Dean terlihat biasa saja dan itu sangat jarang terlihat. Lucy hanya sadar ketika ketakutan dalam dirinya kepada Dean hilang, untuk beberapa saat.

Jika sugesti dari pikiran sendiri lah yang membuatnya selalu menangis ketika berhadapan dengan sikap Dean yang menurutnya menyeramkan, maka Lucy akan melawan semua itu dengan sugesti juga.

Berusaha menganggap bahwa Dean adalah manusia yang tak perlu dia takuti.

Dean hanyalah orang biasa.

"Gue menyeramkan?" tanya Dean pelan. "Maaf."

Lucy diam. Sibuk melawan rasa takutnya sendiri dengan memberanikan diri memandang tatapan dingin Dean begitu lama.

"Mereka memang harus disingkarkan, bukan?" tanya Dean sekali lagi. Tanpa sadar Lucy menghela napas kasar. Dia sebenarnya sedang takut, tapi Dean melihatnya lain. Lucy berbalik memunggungi cowok itu dengan jantung berdegup kencang. Ketakutan.

"Lo lagi marah?" Dean berusaha membuat Lucy kembali berbalik menghadapnya. "Balik sini."

Lucy memejamkan mata, berusaha berpikir bahwa dua kata terakhir itu memanglah bukan perintah yang harus secepatnya dia turuti.

Dean mendekat, berbisik, "gue salah, ya?"

Berhasil. Lucy memejamkan mata dan mengambil napas pelan-pelan. Kali ini, kata-kata Dean terdengar normal.

Lucy akhirnya kembali menghadap cowok itu dan memberanikan diri untuk memandang wajah tanpa ekspresinya. "Salah. Ha... harusnya kejadian semalam nggak terjadi."

"Yang kita gitu—" Ucapan Dean berhenti ketika dengan beraninya Lucy menutup bibir Dean dengan tangannya. Lucy menjauhkan tangannya dari Dean, terkejut.

"Kalau itu salah. Gue nggak akan ngulang lagi." Dean menariknya ke pelukan. "Sampai kita nikah."

Lucy tidak ingin terbawa perasaan dan itu tak akan mungkin. Mereka tidak mungkin menikah. Suatu saat, pelan-pelan, Lucy akan melepaskan diri dari Dean dengan berani. Lucy merasakan degupan jantung Dean yang berdetak normal. Dia menyandarkan kepalanya di sana. Itu agak nyaman. Lucy menggeleng, lalu berpikir tentang bagaimana dia bisa membuat Dean tidak melakukan hal yang ekstrem lagi.

Kemudian Lucy memikirkan sesuatu. Tentang sikap Dean selama ini kepadanya. Dean akan menyingkirkan siapa pun yang mengganggu Lucy. Dean seolah melindunginya, tetapi dengan cara yang salah. Bagi Dean, membunuh manusia sama saja dengan membunuh serangga di depan mata. Lucy menyadari ketidaknormalan cowok itu sejak tiba-tiba saja dia masuk ke kamarnya.

Lucy menggerakkan wajahnya menghadap langsung ke Dean. Benar.

Dean psikopat.

Salah satu alasan mengapa Lucy selalu ketakutan menghadapi Dean.

"Lo mau janji sama gue?" tanya Lucy parau. Dia berdeham dan menundukkan wajah.

"Imbalannya?" tanya Dean.

"Gue bakalan nurutin apa pun yang lo minta, kecuali ... seperti kejadian semalam," kata Lucy agak ragu dengan tiga kata terakhirnya.

"Oke. Apa?"

"Berhenti nyingkirin orang-orang dengan cara lo yang ekstrem." Lucy mengambil napas, lalu mengembuskannya pelan lewat hidung. "Apa dengan harus membunuh? Itu... itu... gimana gue nggak makin takut sama lo? Kesan pertama aja lo bawa pistol nyodorin ke perut orang yang lebih tua—"

Dean membungkam bibir Lucy dengan telunjuknya. Telinganya terlalu peka dengan suara langkah kaki di luar.

Ketukan pintu. "Lucy, nggak makan?" Suara mama lagi.

"Nanti, Ma. Aku makan sendiri!" teriak Lucy menatap pintu, lalu kembali menghadap Dean.

"Ya udah. Masih sakit, ya? Udah minum obat?"

"Na.. nanti, Ma."

"Iya. Mereka ganggu lo. Gue nggak suka," bisik Dean. "Gue akan terus merhatiin Dewa. Dan cowok-cowok lain yang berusaha ngerebut lo dari gue."

"Dewa nggak suka gue. Dia itu pacar Zeline. Kenapa lo masih berpikir dia bakalan ngerebut gue dari lo?"

"Tahu," balas Dean. Lucy melihat ada raut wajah kesal tergambar di wajahnya. "Tapi dia terus merhatiin lo kalau lo bicara."

Astaga, batin Lucy.

"Dean..., wajar kan kalau orang ngomong diperhatiin?" Dean hanya diam. "Sama halnya yang Dewa lakuin ke gue. Emang lo pernah ngelihat Dewa ngedeketin gue kayak cowok lain? Enggak, kan? Gue saksi sesuka apa Dewa ke Zeline. Pacar pertama dan cinta pertamanya."

"Cinta pertama... apa lo pernah jatuh cinta?" tanya Dean, terdengar ragu-ragu.

"Belum sama sekali."

"Perasaan lo ke gue gimana?"

Lucy sekarang bingung. Jujur saja dia tidak punya perasaan apa pun kepada Dean. Cinta? Rasa takut yang selalu dirasakannya kepada Dean akan sangat tidak mungkin berbuah ke hal yang lebih indah itu.

"Nggak apa-apa. Belum ada perasaan apa-apa itu lebih baik daripada lo udah pernah atau sedang mencintai cowok lain."

"Ka ... kalau gue udah pernah mencintai cowok lain?"

Dean mendekatkan wajah mereka. "Gue cemburu."

***


thanks for reading!

love,

sirhayani

Deal with A Possessive BoyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang