PART 22

62.7K 5.6K 361
                                    

22

"Lucy belum mau makan juga," kata Marina hati-hati.

Disaat itu juga Dean bangun dari kursi makannya. "Bawa makanan ke kamarnya," katanya kepada para pelayan, kemudian dia menghampiri Lucy yang tak pernah mau menyenyuh sejak kemarin.

"Lucy." Dean duduk di tepi tempat tidur Lucy, menarik pelan tangan perempuan itu dan menggenggamnya erat. "Makan, ya?"

Tatapan Lucy kosong. Dia sama sekali tidak menggubris Dean. Bagaimana pun dia ingin keluar dari hidup lelaki itu, tetap saja Dean tidak akan melepaskannya karena yang diinginkan Dean adalah Lucy dan seluruh hidup Lucy.

Seorang pelayan datang membawa nampan yang di atasnya terdapat makanan dan gelas air minum. Dia menaruhnya di meja kecil kemudian pamit pergi. Dean mengambil piring itu dan mengarahkannya kepada Lucy.

Namun, Lucy mendorong piring itu hingga jatuh dan pecah ke lantai.

"Kamu jangan membuat aku marah, Lucy," kata Dean dingin.

Lucy menatap Dean penuh kekesalan. Dia sudah tidak sanggup untuk menangis. "Kamu udah ngebuat hidupku hancur. Sekarang? Kamu mau ngebuat hidupku semakin hancur lagi?"

Dean tetap tenang saat beranjak ke pesawat telepon. "Bawa makanan baru ke sini. Sekarang."

Lucy memandang Dean tak habis pikir. Dia frustrasi melihat Dean lagi. Dia sangat membenci laki-laki itu dan sekarang Dean kembali muncul di hidupnya, mengingatkannya dengan semua yang terjadi di masa lalu.

Dean mengambil makanan dari pelayan di depan kamar, lalu menutup pintu kamar dan menguncinya. Lucy berdecak dan membuang muka saat dilihatnya Dean berjalan mendekat.

"Jangan berani buang makanan lagi atau kamu tahu akibatnya," kata Dean dengan nada sedikit mengancam. "Kalau kamu tidak ingin makan, aku akan memaksamu."

Lucy menggeleng-geleng.

"Atau kamu ingin merasakan bagaimana cara kamu makan di vila 15 tahun lalu?" tanya Dean dengan suara tenangnya dan Lucy mengingat semua itu dengan mual.

Kenapa dulu dia dan Dean makan dari mulut ke mulut? Itu hal menjijikan.

"Nggak mau, kan?" tanya Dean, seolah tahu apa yang dipikirkan Lucy. "Sekarang, makan lah."

Lucy mengambil sendiri makanannya dan tanpa sadar makan dengan lihat. Dia sama sekali tidak ingin menoleh ke arah Dean dan memandang apa pun selain laki-laki itu. Berbeda dengan Dean yang sedang menatapnya dalam diam.

"Kamu benci aku karena aku pergi tanpa kabar, ya?" tanya Dean pelan. "Maaf. Aku ke luar negeri selama beberapa tahun dan menetap di sana sebelum kembali ke sini dan mencarimu."

Lucy hanya tertawa kecil di sela-sela makannya. Dia tidak menjawab.

"Kamu pasti sudah bisa menebak kenapa Marina ada di sini," kata Dean sambil terus memandang wajah Lucy penuh rindu. "Iya, dia itu orang suruhanku. Akhirnya aku bisa menemukanmu beberapa tahun lalu dan hanya bisa mendapatkan info mengenai kamu dari Marina."

Bicaranya kaku, batin Lucy.  Berapa lama laki-laki itu di luar negeri? Dean juga sudah banyak bicara dibanding dulu.

Wajar saja Dean mengirim seorang perempuan untuk melindunginya. Dean tak ingin Lucy disentuh oleh laki-laki.

Dean yang buat pria itu dipecat. Bagaimana dengan Haikal? Semoga laki-laki itu baik-baik saja. Lucy tidak ingin menyebut nama Haikal di depan Dean karena khawatir jika saja Dean tahu Lucy dan Haikal baru memulai sebuah hubungan.

"Aku langsung datang karena dengar kabar dari Marina kalau kamu mulai dekat dengan laki-laki lain." Kata-kata itu membuat Lucy berhenti mengnuyah. "Aku datang tepat waktu saat kamu sedang dilukai bajingan pemabuk itu." Lucy menoleh, melihat senyum menyeramkan Dean. "Untung saja bajingan pemabuk itu sudah mati di tempat," lanjut Dean tanpa beban.

Dean tidak berubah.

"Ka .. kamu nggak bakalan ngapa-ngapain Haikal, kan?"

"Laki-laki itu? Yang deketin kamu?" tanya Dean pelan. Laki-laki itu menggeleng. "Nggak. Karena kamu pasti marah sama aku, tapi kalau bajingan pemabuk itu nggak apa-apa, kan? Dia sudah kelewatan jadi pantas untuk mati."

Lucy merinding.

"Lucy, kamu nggak rindu sama aku?" tanya Dean sambil sedikit membungkuk menyelipkan anak rambut Lucy ke belakang telinga.

"Aku lagi makan," balas Lucy sambil membuang muka.

"Aku tanya kamu nggak rindu sama aku?"

Lucy menoleh. "Nggak. Aku udah nggak punya perasaan apa pun ke kamu."

Dean tampak sedih. "Kalau begitu, akan kubuat kamu mencintai aku seperti dulu."

Lucy semakin tak tenang. Dean bisa melakukan apa pun termasuk mengambil hatinya seperti dulu.

Meskipun Lucy ingin membuat dinding pertahanan di hatinya tinggi-tinggi, tetapi dia tetap takut kembali mencintai Dean untuk yang kedua kalinya.

***

Lucy menangis.

Tatapannya terus mengarah ke luar jendela kamar, di mana kursi-kursi tamu berada di taman rumah Dean yang besar. Di sana dia akan menikah bersama Dean.

Gaun pengantin yang indah terpasang di tubuhnya yang ideal. Lucy tidak bahagia dengan ini. Dean melakukan semuanya tanpa persetujuan Lucy. Sementara dia tak bisa melakukan apa pun selain pasrah. Dia tak bisa kabur. Satu-satunya orang yang bisa dia harapkan adalah Marina. Marina tahu sedikit bagaimana menyedihkannya hidup Lucy. Akan tetapi, Marina tak pernah berada dekat dengannya.

Clarissa akan menikah dan Lucy mendahului sahabatnya itu. Bagaimana kabar sahabat-sahabatnya sekarang? Pasti mereka kembali sedih mencari Lucy yang tiba-tiba menghilang kembali.

"Anda sangat cantik," kata seorang pelayan yang membantu semua keperluannya. Pelayan itu tak melihat make up natural Lucy yang sedikit rusak karena air mata. "Ah, Tuan Dean."

Lucy menghela napas tanpa sadar.

Dean berdiri agak jauh di belakang Lucy sembari memandang pelayan yang membantu keperluan Lucy saat ini.

"Bisa keluar sebentar?" tanya Dean dengan memerintah.

"Baik, Tuan. Permisi."

Dean berdiri diam sesaat memandang punggung Lucy yang tertutup oleh gaun putih yang pas di tubuhnya. Dean tahu meski gerak-gerik Lucy kecil dia sedang menangis. 

Lucy mendengar suara langkah sepatu, kemudian merasakan seseorang memeluknya dari belakang. "Aku tahu kamu menangis." Dean membalikkan tubuh Lucy pelan dan menghapus air mata di pipinya. "Kamu nggak akan merusak hari bahagia kita, kan?"

Lucy memandang Dean dengan tatapan nanar. "Bebasin aku. Aku mohon."

"Tapi aku nggak bisa melakukan itu." Dean membalas penuh ketegasan. Dia tidak akan mungkin menuruti satu kemauan Lucy yang paling tidak diinginkannya.

Dean hanya menginginkan Lucy di hidupnya. Tanpa halangan siapa pun.

"Kamu nggak bisa memaksakan orang lain, kan?" tanya Lucy sedih.

"Ya, tapi bagaimana aku bisa hidup tanpa kamu?"

"Kamu bisa." Lucy tersenyum kecil dengan air mata berlinang. "Kamu yang nggak mau mengikhlaskan." Lucy berpaling. "Ah, percuma. Ujung-ujungnya kamu tetep nggak mau aku pergi. Kenapa kamu nggak bisa ngelepasin aku? Ngebebasin aku? Aku mau hidup tenang."

Dean menatap tepat ke mata Lucy dan merenung. Selama ini Lucy terkekang olehnya. Lucy ingin hidup tenang tanpa dirinya? Sementara kebahagiaan Dean adalah Lucy.

"Karena aku sangat mencintai kamu, Lucy."

"Itu bukan cinta. Cinta itu nggak bisa dipaksakan—" Lucy terdiam merasakan Dean mencium puncak kepalanya lama.

"Aku nggak bisa menerima penolakan," kata Dean setelah kembali memandang mata Lucy. "Aku benar-benar mencintaimu, Lucy."

***


thanks for reading!

love,

sirhayani

Deal with A Possessive BoyfriendWhere stories live. Discover now