PART 23

61.5K 5.8K 844
                                    


23

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

23

Dua bulan berlalu dan selama dua bulan ini statusnya telah berubah menjadi istri Dean.

Pada akhirnya, Lucy menyerahkan seluruh hidupnya kepada Dean.

Lucy memandang jendela. Dari sini dia bisa melihat pagar rumah Dean yang agak jauh di depan sana. Setiap hari, disaat Dean tidak di rumah, Lucy akan berdiri di jendela atau balkon kamarnya hanya untuk melihat pemandangan luar. Dean tidak mengizinkannya keluar dari kamar itu. Mengurungnya seperti seperti burung dalam sangkar.

Alasan Dean karena dia khawatir jika saja Lucy berniat untuk kabur.

Padahal setiap sisi rumah maupun halaman dijaga oleh bodyguard. Dean masih saja khawatir Lucy kabur padahal Dean tahu Lucy tak akan sanggup untuk melarikan diri dari orang-orang sekuat mereka.

"Kamu udah minum pil yang pelayan berikan tadi, kan?" tanya Dean di malam itu.

"Sudah."

"Kamu harus meminumnya setiap hari. Rutin."

"Kenapa?"

"Aku nggak mau punya anak."

Lucy langsung memandang Dean dengan tatapan nanar. Meski dia membenci Dean, tetapi Lucy ingin memiliki anak. Lucy tahu selamanya dia akan terperangkap dalam hidup Dean. Lucy sudah pasrah dengan itu. Akan tetapi, selamanya Lucy tidak ingin hidup tanpa anak.

"Kenapa?" tanya Lucy saat Dean terus menciumnya.

"Aku nggak mau ada orang lain di hidup kita."

Lucy tertawa sedih. "Alasannya. Ck," gumam Lucy mengingat kembali malam itu. Lucy tidak mengerti isi pikiran Dean. Kenapa dia harus berurusan dengan manusia seperti itu?

Sekarang, Lucy sedang cemas.

Karena satu kali dia lupa meminum pilnya.

Sementara belakangan ini Lucy merasa tak biasa. Dia terlambat datang bulan. Lucy khawatir dia hamil. Lucy khawatir jika saja Dean tahu mengenai hal itu.

Suara pintu diketuk menyadarkan Lucy dari lamunan. "Masuk," teriak Lucy sambil menoleh. Marina muncul dan hanya memberitahukan informasi mengenai Dean.

"Malam ini, Tuan Dean pulang," kata Marina, lalu siap-siap menarik pintu untuk pergi.

"Marina!" seru Lucy, lalu mendekat. Dia menggenggam tangan seseorang yang sudah dia anggap sebagai sahabat itu. "Marina, lo nggak mau bantuin gue sedikitpun?"

Marina memandangnya dan melepaskan genggaman Lucy pelan.

"Gue mohon." Lucy menggeleng-geleng. "Gue nggak tahan di sini. Lo bisa kan bantuin gue keluar dari sini?"

"Maaf." Marina menggeleng. "Saya nggak bisa membantu."

"Gue mohon.... Nggak perlu formal gitu." Mata Lucy berkaca-kaca. "Gue khawatir gue lagi hamil dan gue nggak mau anak gue kenapa-napa. Marina, Dean nggak pengin gue hamil dan gue takut kalau dia tahu. Gue mohon. Gue mohon. Lo nggak kasihan sama gue?"

Lucy terus memohon dengan segala cara, tetapi yang didapatinya dari Marina hanyalah gelengan pelan. Marina memandangnya sedih seolah tidak bisa membantu untuk hal ini.

"Permisi," kata Marina sebelum dia pergi dan menutup pintu.

Lucy terisak dan refleks memeluk perutnya. Dia memang belum pasti sedang hamil, tetapi Lucy tidak ingin kejadian sama terulang kembali seperti lima belas tahun lalu. Lucy tidak ingin kehilangan bayinya untuk yang kedua kalinya.

Sementara Marina menghela napas. Dia diam tak bisa menjelaskan apa pun karena setiap yang dilakukan Lucy di kamar itu akan diketahui oleh Dean, termasuk apa yang dikatakan Lucy barusan.

Dean telah memasang alat untuk mengawasi Lucy 24 jam.

***

Dari jendela itu, Lucy melihat beberapa mobil melewati pagar rumah kediaman Dean. Dean keluar dari mobil kedua dan segera turun. Sementara barang-barangnya dibawa oleh orang-orang suruhannya. Lucy mondar-mandir sejak tadi. Sesekali dia berdiam diri dan memikirkan cara untuk kabur dari sana. Dean sudah gila, pikirnya. Dean benar-benar tak akan membiarkannya menghirup udara luar.

Dia duduk di lantai, menekuk lututnya sambil menghela napas. Bertepatan dengan itu pintu kamar terbuka dan Dean berdiri di ambang pintu memandangnya dengan tatapan dinginnya.

Ada sesuatu yang tidak beres dari tatapannya itu.

"Ngapain kamu duduk di lantai?" tanya Dean sembari mendekat. Dia mengangkat Lucy ke gendongan dan menidurkan isterinya di tempat tidur. "Aku merindukanmu."

"Ini ... baru lima hari kamu pergi," balas Lucy ragu.

Dean menahan tubuhnya di atas Lucy dan mengusap pipinya. "Aku sudah tahu semuanya. Semua yang kamu katakan."

DEG

Meski Dean tidak mengatakan maksud dari dia mengatakan kalimat itu, tetapi perasaan Lucy tidak enak. "A ... pa?"

"Kamu hamil dan berusaha merahasiakannya dariku, kan?"

Lucy kaku. "Ng... nggak."

"Aku tahu semuanya. Aku tahu semua tentang kamu. Jadi, jangan sekali-kali berpikir untuk merahasiakan apa pun sendiran."

Mata Lucy berkaca-kaca. "D... Dean, Marina yang bilang?"

"Bukan. Aku tahu sendiri." Dean mencium lehernya. "Besok kita ke dokter. Anak itu harus segera digugurkan sebelum makin terbentuk."

Lucy mendorong Dean. Perempuan itu menjauh dan terisak. "Digugurin? Kenapa semua yang ada di sekeliling aku pengin kamu singkirin bahkan anak kita sendiri?"

"Lucy, aku cuma nggak mau kamu terbebani."

"Terbebani katamu?" Lucy menutup wajahnya dengan kedua tangan. "Waktu aku tahu aku keguguran anak kita belasan tahun lalu, aku sedih banget. Itu anak kita... anak kita. Harus pergi disaat aku ngak tahu aku hamil."

Lucy tak mendengar apa pun selain tangisannya sendiri. Dia membuka matanya dan melihat Dean yang memandangnya dengan raut wajah tak terbaca.

"Aku nggak terbebani sama sekali. Aku sudah pelan-pelan nerima kamu, walaupun aku nggak bisa ngelupain apa yang kamu perbuat." Lucy mengatakannya dengan sedikit berbohong. Bisakah dia mengelabui Dean sedikit saja dengan kata-kata? Sampai kapan pun Lucy tak akan menerima Dean dalam hidupnya. "Tapi anak kita... anak kita jangan."

"Itu berat." Dean berdiri setelah Lucy menyelesaikan perkataannya.

"Dean, aku mohon apa pun itu ... anak kita jangan." Lucy terisak. Dean berjalan keluar kamar seolah tidak ingin mendengar apa pun darinya. "Dean, kamu nggak pengin punya keluarga kecil? Aku, kamu, dan anak. Anak-anak...."

Dean berhenti.

Lucy semakin khawatir dengan itu. Saat Dean berbalik dan mendekat, jantung Lucy terasa hampir jatuh.

Apa dia mengatakan sesuatu yang salah?

"Kedengarannya akan menjadi keluarga yang bahagia?" Dean menciumnya. "Aku akan pelan-pelan."

***


thanks for reading!

love,

sirhayani

Deal with A Possessive BoyfriendWhere stories live. Discover now