PART 12

98.4K 8.4K 595
                                    

12

"Ma, Pa. Aku langsung berangkat, ya!" Lucy buru-buru keluar dari kamarnya karena terlambat bangun.

"Loh?" Mama menatap anaknya yang memakai sepatu di teras rumah. "Mama kira kamu masih sakit. Mama udah telepon ke rumah Zeline supaya kamu diizinin aja. Sarapan dulu. Kamu belum makan dari selamam. Lucy?"

Lucy seolah tidak mendengarkan. Dia membuka pagar, berlari dengan buru-buru.

"Matanya sembab. Habis nangis, ya?" tanya papa yang juga ada di teras. "Belakangan ini Lucy nggak kayak biasanya. Sadar nggak, Ma?"

"Sadar, sih. Cuma Lucy selalu sering di kamar dibanding dulu. Dulu kan anak itu suka nonton TV bareng." Mama mematikan keran yang dia pakai untuk menyiram tanamannya. "Sekarang lebih sering ngurung diri di kamar."

Papa memperbaiki dasinya. "Mulai sekarang Lucy harus jauh lebih diperhatiin lagi. Jangan sampai terjadi sesuatu." Papa mendekat ke mama Lucy, mengusap perut istrinya dengan lembut. "Baik-baik, ya, Nak. Tunggu berapa bulan lagi kamu ketemu sama kakak kamu."

Mama tertawa dan mengusap perutnya. "Ah, nggak nyangka Lucy akhirnya dapat adik baru. Waktu kecil dia sampai nangis-nangis pengin adik baru, tapi kita belum juga dikasih." Perempuan paruh baya itu tersenyum kepada suaminya. "Kalau adik Lucy sudah balita, kita ajak Lucy jalan-jalan sekalian ke luar negeri, ya? Ke mana, ya?"

"Lucy kan mau ke Paris, Ma."

"Ah, iya. Jadi nggak sabar."

***

Clarissa dan Zeline menahan Lucy agar tidak segera keluar dari kelas saat istirahat tiba. Dua sahabatnya itu memandang Lucy penuh selidik. Zeline bersedekap. Clarissa menahan kedua bahu Lucy dengan tangannya karena Lucy berusaha untuk berdiri.

Lucy memandang dua sahabaatnya itu bergantian. "Kalian kenapa? Gue laper tahu. Kantin, yuk?"

"Nggak sekarang. Kita berdua mau ngomongin hal yang penting banget sama lo!" gertak Zeline.

Lucy menghela napas. "Apa?"

"Ngaku!" seru Zeline. "Lo nggak bahagia kan sama Dean? Jujur aja. Kita berdua tahu lo tertekan setiap di samping cowok itu. Lucy, kita temen lo. Kalau ada apa-apa cerita, ya? Nggak tega gue ngelihat lo jadi aneh banget tiap ada di samping Dean. Awalnya gue pikir lo itu sama kayak gue, deg-degan karena suka sama cowok. But, setelah gue membuka mata gue lebar-lebar, itu beda. Beda banget."

Setelah itu hening. Tatapan menyelidik Zeline masih terus tertuju ke mata Lucy yang memandangnya tanpa ekspresi.

"Nggak ada apa-apa. Gue biasa aja sama seperti dulu." Lucy menjauhkan kedua tangan Clarissa dari bahunya.

"Lucy," panggil Clarissa. "Kalau ada apa-apa bilang. Gue dan Zeline udah kenal lo. Udah tahu banget lo kayak gimana walaupun kita baru kenal dari kelas 1 SMA."

Lucy mengusap lehernya dan tersenyum. "Serius. Kalau gue ada apa-apa pasti udah dari awal gue cerita." Dia berdiri, menepuk-nepuk masing-masing bahu sahabatnya pelan. "Dean ada di luar nungguin gue. Kayaknya gue nggak bisa makan bareng kalian lagi. Besok-besok, ya!"

Lucy berlari menghampiri Dean yang berdiri di luar kelas. Dean menggapai tangan Lucy dan sebelum pergi memandang Zeline dan Clarissa bergantian.

"Ck." Raut wajah Clarissa memperlihatkan ketidaksukaannya kepada Dean. "Lihat, tuh, tatapannya. Udah kayak pembunuh aja."

"Hus! Jangan ngomong aneh-aneh. Kalau beneran gimana? Kan serem!" Zeline menyenggol bahu Clarissa. "Gimana, dong, sekarang? Gagal?"

"Lo, sih. Pakai ngebentak-bentak. Bukannya ngomong halus," omel Clarissa.

Deal with A Possessive BoyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang