PROLOG

163 16 13
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Dim... Bangun, Dim..."

Sayup-sayup, suara jernih yang familiar membuat kening Adimas bertaut. "Apaan, sih. Ganggu orang tidur aja," ceracaunya tak jelas sambil mengibaskan tangan demi mengusir seseorang yang saat ini sedang mencawil-cawil pipinya. 

Bunyi kikikan menyapa telinga. Adimas menggerutu kesal dan pelan-pelan membuka mata, hanya untuk menemukan seraut wajah gadis bermata belo tengah memandanginya dari jarak sangat dekat.

"Huwaaa....astagfirullah!" teriak Adimas kaget, refleks menjauh ke samping hingga tak sengaja kepalanya menabrak tembok. Erangan frustrasi pun terucap, sebal mendengar si gadis malah terkikik kegelian.

"Berapa kali gue bilang, jangan main nyelonong masuk kamar gitu aja, Ki! Kita bukan anak kecil lagi. Non muhrim. Ngerti?!" Dengan ketus Adimas menegur sambil duduk bersila di atas kasur. Dipijitnya kepala guna menetralisir rasa pusing akibat terbentur.

"Mau apa?!" semprotnya.

Yang ditanya tak segera menjawab, malah beranjak memunggungi Adimas.

"Mm...Dim...., will you marry me?"

Adimas melongo, seakan memeriksa kenormalan pendengarannya. Dua detik kemudian, barulah mulutnya bersuara.

"Salah makan obat, lo?"

"Eh, Dim... Out of the box itu namanya. Pernah denger ungkapan kalau orang dengan pikiran gila itu bisa lebih sukses, kan?"

Adimas berdecak, tak habis pikir. Bisa-bisanya Kirana bicara santai sambil ongkang-ongkang kaki duduk di atas meja belajar, padahal beberapa detik lalu baru saja mengajak seorang cowok menikah. Iya, betul, melamar! Bukan sekedar 'nembak'! Kalau bukan gila, entah apa lagi namanya.

"Ah!" Adimas paham. Pasti prank! Sejak jaman balita, ia lebih dari tahu bagaimana sifat makhluk bernama asli Adinda Kirana Larasati ini. Andai saja suasana hati dan pikirannya tidak sedang kacau, ia pasti akan balas meladeninya dengan ledekan-ledekan.

Alih-alih, kening Adimas berkerut semakin dalam. Kedua tangannya terlipat di depan dada.

"Sorry....Candaan lo kali ini gue skip dulu!" ujarnya tanpa menyembunyikan rasa jengkel.

"Duh, dasar batu," Kirana mengesah. Rambut sebahunya bergoyang ketika ia turun dari meja.

"Jangan galak-galak, atuh. Kenalin, calon istri sekaligus investor bisnis Adimas Rakabumi," ujar Kirana manis, setelah ikut bersila di atas kasur, menghadapi lelaki jangkung bersorot mata tajam itu.

Adimas mengabaikan. Mood-nya benar-benar anjlok ke dasar. Mendengar kata 'bisnis', kepalanya langsung berdenyut parah. Teringat tenggat waktu dari puluhan aplikasi pinjaman online semakin mendekat.

Kalau ia tahu bapak Medi memodali minimarket mereka dari hasil utang, mana mau ia diajak bermitra usaha. Kalau sudah begini, pilihannya hanya dua. Mundur, lalu bisnis dan pertemanannya hancur. Atau membantu Medi menjual ginjalnya.

"Kalau gue bilang masalah lo sama si Medi udah kelar, gimana?" Mata bulat Kirana bersinar jenaka, kepalanya sengaja dimiringkan untuk menggoda, seraya mengacungkan tampilan layar ponselnya.

Adimas pun membatu usai membaca screenshoot di hadapannya itu. Tertera bukti-bukti transferan ke aplikasi-aplikasi pinjol yang pernah ditunjukkan Medi. Sekarang semuanya sudah lunas!

Hah!

"Lo...gimana caranya, lo..." Adimas sampai terbata-bata saking shocknya. Bagaimana Kirana bisa tahu?! Seingatnya, ia hanya memberitahu bunda. "Jangan-jangan..."

"Stop!" potong Kirana, mimiknya berubah serius. "Gue jelasin nanti. Yang penting sekarang lo utang budi sama gue. Dan satu-satunya jalan buat bayarnya, gue mau kita harus nikah secepatnya!"

Kali ini, Adimas yakin Kirana sudah tidak waras betulan. Penasaran, tangannya mengambil alih selembar kertas bermaterai yang diulurkan Kirana dari balik saku celana jeans. Perjanjian Friends With Benefit tercetak tebal sebagai judul. Fokus, ia meneliti rentetan baris demi baris. Namun, semakin lama dibaca, entah kenapa isinya terasa semakin absurd.

"Lo mau kita nikah siri setahun, habis itu cerai dan lo bisa lanjutin kuliah ke Amerika, " simpul Adimas pelan, menahan diri untuk tidak langsung meremas kertas tersebut, lalu menimpuk Kirana supaya sadar.

"Singkatnya, ini semua demi proyek beasiswa lo? Supaya lo diijinin Mami buat tetep di sini kelarin proyek, nggak ikut pindah ke Pontianak, gitu?"

Kirana mengangguk bersemangat. Raut mukanya berubah cerah, senang karena Adimas langsung mengerti.

"Ide bagus, " pungkas Adimas bangkit berdiri. "Tapi tolong cari aja orang lain yang mau ikut skenario lo!" ujarnya seraya berjalan ke arah pintu.

"Aw!" Kirana meringis. Barusan, Adimas menempelkan kertas perjanjian itu kuat-kuat di keningnya."Eh, eh, mau pergi kemana lo, Dim?! Jangan tinggalin gue!"

"Cari duit buat lunasin utang!"

Balasan teriakan dari Adimas, membuat Kirana merengut. Sesuai dugaan, skenario ini memang tidak akan mudah terlaksana, tapi bukan Kirana namanya kalau gampang menyerah. No way!

***

Just Friend's Scenario (Mulai Revisi - On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang