8. Not A Broken Melodies

32 8 0
                                    

Menyoal patah hati, Kirana sedang berusaha mengompromikan pikirannya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Menyoal patah hati, Kirana sedang berusaha mengompromikan pikirannya. Bahwa ini hanyalah sebuah fase yang lain dari jatuh cinta. Layaknya makhluk yang lahir lalu mati. Bunga yang mengembang pun pasti akan layu. Lantas, apa bedanya dengan kandasnya suatu hubungan? That's natural.

Meski, tetap saja.

Tak mudah menata hati yang koyak.

"Tega kamu, By...Hiks..." Kirana tak henti menyeka linangan air mata di pipi. Sesekali, ia susut juga ingus menggunakan tisu yang entah sudah berapa banyak ia buang di lantai tempat tidurnya.

Selang beberapa hari paska 'putus', Bobby sama sekali tak menghubungi Kirana.

"Harusnya kalo kamu nggak mau putus, kamu kejar aku kek, telpon kek. Jangan malah diemin aku kayak gini. Jahat! Hiks, tapi gue juga bego banget..."

Kirana tergugu. Ada rasa sesal menyusup ke dalam hati, kenapa ia terlalu gegabah mengucapkan kata pisah. Bobby adalah cowok ambisius. Statusnya sebagai pewaris bisnis ekspor mebel berbahan kayu jati, telah membentuk kepribadiannya menjadi seperti sekarang. Tipikal cowok pengejar kesuksesan di atas hal lainnya. Mengapa ia begitu childish dan tidak mau mengerti posisi Bobby?

"Huwaaaaaa, dasar gue bego!"

Usai berhari-hari menangis diam-diam, akhirnya Kirana keluar dari kamar. Mami dan papi yang melihat matanya bengkak saat sarapan, kelihatan sangat penasaran, tapi tak mau bertanya lebih dulu. Alhasil, mereka hanya mengamatinya lekat selama sarapan.

"Kamu ngampus hari ini, Ki?" Mami mulai memberikan pancingan.

"Nggak, Mi," jawab Kirana singkat.

"Oh..." komentar mami singkat. Kampus baru melaksanakan ujian semester, hingga aktivitas mahasiswa FSRD khususnya, terpusat pada persiapan kegiatan pameran tahunan. "Siangnya ada acara sama Bobby, nggak?"

Kirana yang sedang melahap nasi gorengnya malas-malasan, berhenti mengunyah. Posturnya menunjukkan keengganan. Ah! Mami mengerti. Anehnya, alih-alih ikut merasa sedih, ekspresi mami malah kelihatan lega. Kirana mengernyit melihatnya.

"Sore nanti Mami mau ikut Bunda Sofie nyiapin syukuran pindahan Dimas ke ruko," jelas mami tanpa menyembunyikan mimik sumringahnya. "Ikut Mami yuk, Ki?"

Kirana tampak berpikir-pikir. Jelas baru mengetahui fakta tersebut. Benaknya dipenuhi pertanyaan, mengapa Adimas mau pindah ke ruko. Memangnya apa rencana Adimas? Segumpal perasaan sedih menerpa. Merasa bersalah karena ternyata ia tidak tahu apa-apa tentang kegiatan Adimas belakangan ini. Sahabat macam apa dirinya.

Berhubung Kirana tidak punya ide lain untuk mengalihkan kesedihannya, kepalanya mengangguk tanpa ia sadari.

"Good." Senyum mami merekah sangat lebar.

Maka setelah sarapan, Kirana naik kembali ke kamar. Pikiran mengenai Adimas memenuhi kepalanya. Terdorong rasa penasaran, ia berjalan ke teras lalu melongok ke dinding pembatas sebelah kiri yang memisahkan rumahnya dengan kamar Dimas di lantai dua. Siapa tahu Adimas ada di rumah.

Dugaannya tak meleset. Begitu ia mengintip ke arah balkon tetangganya itu, tampak Adimas sedang menelpon seseorang. Nyaris Kirana membuka mulutnya untuk menyapa, jika saja ia tidak mendengar nada suara Adimas yang sarat ketegangan.

"Med, lo mikir apa sampai nekat minjem duit dari pinjol buat nambahin modal usaha kita. Kita atur seadanya aja kan, bisa!"

Mata bulat Kirana membelalak. Di luar kesadarannya, ia memasang kuping baik-baik, ingin mendengar kelanjutan obrolan Adimas lebih jelas. Dibalik tembok itu, ia menyenderkan punggung dan berjongkok. Memastikan dirinya sudah tersembunyi dengan baik.

"Kapan tenggang waktu pinjaman lo?" Adimas terdiam sesaat, mendengarkan respon rekannya.

"Hah?! Anjrit, lo! Eh, astagfirullah....Lo bego atau dungu?!"

Terdengar jeda lagi dan Kirana ikut terbawa tegang mendengarkan semua monolog Adimas itu.

"Kita batalin aja bisnis kita kalau gitu. Mumpung blom sukuran. Lo minta refund pembayaran dari pemilik ruko, terus lunasin utang-utang lo!"

"Ya habisnya gimana. Lo pikir duit dua puluh juta itu datang dari langit? Darimana kita bisa ngumpulin duit dalam waktu tiga hari? Mikir dong, lo!"

"Ah, udahlah, nanti kita pikirin lagi. Sekarang gue mau tidur!"

Setelah itu, selang beberapa detik kemudian, suara pintu kamar Adimas yang menjeblak tertutup, mampir di telinga. Membuat Kirana berjengit di tempatnya.

Kirana menghela napas panjang begitu Adimas pergi. Nampaknya cowok itu murka luar biasa. Lama, ia bergeming di tempatnya sambil memutar otak, memikirkan solusi terbaik. Hatinya terketuk ingin membantu Adimas.

Lalu, setelah kira-kira setengah jam berlalu, Kirana bangkit berdiri. Barusan, ia telah menetapkan sebuah keputusan besar. Terdengar gila, memang. Tapi, hidupnya sudah terlanjur berada di persimpangan. Kalau ia tidak bisa mendapatkan cintanya, paling tidak ia tidak boleh kehilangan kesempatan meraih impiannya. Dan, Adimas merupakan kunci menggapai cita-citanya itu.

***















Just Friend's Scenario (Mulai Revisi - On Going)Where stories live. Discover now