16. Rethinking Of Us

44 7 0
                                    

"Ki, Mami sama Bunda udah tahu alasan Dimas pilih kamu."

Mami menyorongkan badan menyorot puterinya sambil meletakkan satu siku di atas meja. Tangannya sibuk mengetuk-ngetukkan telunjuk dan jari tengah bergantian, membentuk irama. Lagak beliau sudah menyaru layaknya detektif yang sedang menginterogasi tersangka.

Mendengar kalimat mami, Kirana termenung lalu mengerling Adimas penasaran. Memang si Dimas bilang apaan tadi?

Saat itu, Adimas tepat berada di sebelah Kirana, sedangkan bunda ada di sebelah mami Kirana. Berempat, mereka mengelilingi meja makan berbentuk bundar. Dilihat dari atmosfir serius yang muncul, bisa saja orang lain menyangka sedang ada konferensi.

Iya, konferensi meja bundar.

Teringat hal itu, tawa Kirana tersembur tanpa sadar.

"Eh, siapa yang nyuruh ketawa!" Mami menggebrak meja dan memelototi Kirana. "Sekarang giliran kamu, Ki. CERITAIN." Beliau sengaja menekan kata terakhir supaya jadi perhatian Kirana. "Gimana bisa cewek yang baru putus belom genap dua minggu tiba-tiba ngajakin sohibnya married. Awas kamu kalo cuma jadiin Dimas pelampiasan."

Suara Mami berubah menjadi bisikan, sembari memeragakan adegan sembelih leher menggunakan tangannya sendiri.

Kirana memanyunkan bibir. "Si mami mah suka gitu." Kemudian, ia segera berpaling menghadap Adimas dan sengaja melebih-lebihkan rengekannya supaya terdengar lebih manja. Bagian bawah kaus Adimas ditarik-tariknya. " Dim... lihat tuh si Mami galakin aku."

Karuan Adimas gelagapan. Sebagian merasa tak enak karena dilihat orangtua, sebagiannya lagi karena merasa malu campur geli.

Kirana malu-maluin banget sumpah!

"Apaan, sih!" Tangan Adimas menyapu kasar wajah Kirana, seolah menyadarkan orang yang kesurupan.

"Kok nggak ada romantis-romantisnya sama pacar?!" Kirana protes. Nada manjanya sudah berubah normal, malah naik dua oktaf lebih tinggi.

"Ya, nggak gini juga, Ki. Geli dengernya, tahu!" tukas Adimas, misuh-misuh. "Mana ada pacar-pacaran. Kita setuju mau married, bukan pacaran!"

"Alah, sama aja! Sini biar gue garukin kalo geli! Mau gue cekek sekalian, nggak?" Kirana menyahut sinis. Tak sadar sudah ber-lo-gue lagi karena emosinya terpancing.

"Nih! Coba aja kalo berani, " Adimas mendekatkan lehernya untuk menantang Kirana.

Mami dan bunda saling bertatapan bingung dan melongo dibuatnya. Yang kayak begini ini bilang mau menua bersama?

"Astagfirullah..." Syukurlah Adimas segera tersadar. Dipejamkannya mata sesaat. Merasa menyesal. Ia dan Kirana memang sudah terbiasa saling meledek dan mengejek selama tahun-tahun kebersamaan mereka. Sulit sekali mengubah kebiasaan itu ternyata.

"Maaf, Mi, Bun...Kelepasan," kata Adimas. Dalam hati mengutuk dirinya. Bukan cuma sekali, ia lalai dan terbawa suasana gara-gara Kirana. Dari sekian gadis di kampus yang berinteraksi dengannya, ia selalu bisa menjaga batasan. Tapi khusus Kirana, ia selalu saja kecolongan.

Adimas sendiri heran.

Mampus, gue! Kirana mengerang, menyadari kekeliruannya. Lagipula, ia yang ngotot ingin menikahi Adimas. Bisa gawat nasibnya kalau cowok itu berubah pikiran.

"Maafin gue, Dim," ceplosnya buru-buru. "Maaf juga Bun, Mi..."

Seakan-akan tak pernah ada keributan yang terjadi, sepasang muda-mudi itu kembali tenang. Memasang postur siap menyimak petuah para tetua dengan penuh perhatian.

Tak habis pikir, mami menggeleng berulang kali. Kontras dengan kikikan teredam bunda Sofie di sebelahnya. Beliau terpaksa menutupi mulut menggunakan tangan demi menjaga suasana.

"Love language kalian berdua memang nyeleneh..." ucap bunda Sofie setelah berhasil memulihkan diri. "Tapi kami tahu kalian saling peduli satu sama lain. Dari kecil selalu saling menjaga. Yah, nikah sekarang atau beberapa tahun lagi apa bedanya. Bunda sih, setuju. Asal kalian memang benar serius."

Rona Adimas dan Kirana menunjukkan kelegaan. Satu restu sudah berhasil dikantungi. Keduanya lalu beralih menatap mami yang tetap bungkam, tak bereaksi apa-apa, kecuali menghujamkan tatapan menyelidik.

"Kalo Mami gimana, Mi?" tanya Kirana, memberanikan diri. Habisnya kalau mami sudah mogok bicara begini, efek terhadap mental itu terasa lebih dahsyat daripada tanding debat. Hiiy, menakutkan!

Mami masih betah terdiam. Sampai kira-kira jarum menit sudah berlalu beberapa putaran, barulah beliau bersuara. Itupun setelah menghela napas berat.

"Mami sih yakin banget kalo sama Dimas. Dia pasti bisa jadi imam yang baik buat istrinya. Yang mami kuatirin malah kamu, Ki. Kayaknya kamu masih jauh deh dari kriteria isteri yang baik. Mami jadi kasihan sama Dimas."

Kirana tampak tidak senang. "Mami mah tega sama anak sendiri, " katanya, cemberut.

"Loh, emang bener, kan? Dengerin Mami, Ki. Kamu juga, Dim," Mami kini memusatkan perhatian pada keduanya secara bergantian. Mimik beliau amat serius. "Ketika memilih pasangan, jangan cuma mikir, 'Ah, dia baik, kok. Yuk nikah.' Bukan kayak gitu konsepnya. Nggak cukup sekedar baik, tapi pikirkan juga apa dia orang tepat buat kita? Buat orang tua kita juga? Kita bicara tentang pasangan seumur hidup lho ini. "

Mami lalu bangkit dari kursi. "Mami akan tanya lagi besok atau lusa. Soal tiket pesawat bisa dipending. Kalian punya beberapa malam untuk berpikir ulang. Istikharah dan dzikir dulu. Mantapkan hati." Beliau lalu melambaikan tangan ke arah Kirana. "Dan kamu, Ki. Ayo, pulang. Mami dan Papi harus bicara enam mata sama kamu. "

***

Adimas menghabiskan siang hari berkegiatan seperti biasa. Ke kampus untuk kuliah, lanjut ke ruko untuk mendiskusikan persiapan grand opening. Malam-malamnya ia habiskan untuk berpikir dan berdoa. Memohon diberikan kejernihan hati. Ia belum siap menceritakan hal ini pada kawan-kawannya di ruko, karenanya mereka hanya bisa terheran-heran melihat Adimas banyak melamun beberapa hari ini. Medi malah sempat mengusulkan supaya Adimas diperiksa oleh ahli rukiah. Siapa tahu kesambet.

Di tengah kebimbangan yang menguasai pikiran, Mas Raka lah yang akhirnya berhasil memugarkan ketenangan Adimas.

"Kalao bicara soal pasangan yang tepat, nggak bakal ada pasangan sempurna di dunia ini, Dim. Mas bukan orang alim, jadi Mas cuma bisa ngasih pandangan berdasarkan pemahaman pribadi. Mas akan bertanya ulang. Kamu yakin nggak dengan perasaanmu?" Selang sehari sebelum jadwal interogasi kedua dengan mami Kirana, mas Raka mengkonfirmasi.

"Insya allah, yakin, Mas," jawab Adimas.

"Maka kejarlah dia, Dim. Mas percaya kamu nggak akan membiarkan tulang rusukmu kenapa-kenapa. Pada dasarnya, wanita itu seperti layangan, dan imamlah yang menggerakannya. Ketika layangan mulai oleng terbawa angin, imamlah yang bertugas menjaganya supaya tidak putus dan tetap bertahan di angkasa. Kuncinya ada padamu. Jangan lupa, libatkan Allah di setiap hari-harimu, Dim."

Adimas menyahut paham.

"Kirana itu bagaikan kertas polos. Kamu pasti udah tahu betul karakternya. Dia memang punya kekurangan. Kamu harus siap-siap masak sendiri dan bersih-bersih rumah nanti," Mas Raka terkekeh-kekeh di telepon. "Tapi potensi kebaikannya tinggi. Pergaulannya tergolong bersih. Dia juga selalu total kalau tertarik pada sesuatu. Bantu arahkan dia, Dim. Insya Allah, kalian bisa berubah bersama, menjadi lebih baik. "

Sementara itu, lain Adimas, lain pula kejadian yang terjadi di rumah Kirana.

"Suer, Mi. Aku nggak ada itikad buruk sama Dimas. Aku cuma mikir daripada jomblo seumur hidup, mending nikahin dia. Aku nggak mau cari pacar lagi, Mi! Kebetulan aja dianya mau. Jadinya syarat Mami juga terpenuhi, kan? Aku menang banyak, Mi!" jawab Kirana, membalas cecaran ibunya.

Sayangnya, yang paling merasa shock di sini adalah papi. Meski diam dan tak mengomentari apa-apa, matanya selau nyalang menunggu kepulangan Adimas dari teras rumah. Setiap hari, tanpa terjeda. Suruh siapa. Berani-beraninya ingin 'mencuri' puteri kesayangannya!

***

Just Friend's Scenario (Mulai Revisi - On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang