7. Ultimatum Mami (II)

42 8 2
                                    

Kirana mengangguk-angguk, mengikuti irama lagu pop slow yang diputar kafe dekat kampusnya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Kirana mengangguk-angguk, mengikuti irama lagu pop slow yang diputar kafe dekat kampusnya. Diedarkannya pandang, mengamati sekeliling. Suasana makan siang itu lumayan rame, untunglah ia dan Bobby tiba tepat waktu. Telat satu menit saja, sudah pasti semua meja sudah ada yang mengisi. Bobby hanya tersenyum-senyum melihatnya.

"Sorry, kemaren aku sama sekali nggak sempat buka chat, Yang. Rapat baru kelar malem, terus aku langsung garap bab tiga karena hari ini harus bimbingan. Sampe nggak nyadar ponselku kehabisan daya," Bobby mulai membuka percakapan. Ia lalu bergerak menggenggam tangan Kirana. "Kamu nggak marah, kan?"

Kini, perhatian Kirana terfokus pada pacarnya. Sebuah gelengan cepat menjadi jawaban, sambil mengerutkan hidung dan tersenyum dikulum. Sebenarnya, Kirana sempat merasa sebal kemarin, tapi bukan itu yang membuat hatinya resah. Ia bingung bagaimana harus memulai ceritanya.

"By, kamu serius kan, sama aku?" tanyanya pelan-pelan, setelah menyiapkan mental selama beberapa saat. Dikerlingnya Bobby sekilas, sebelum menunduk sedikit. Entah kenapa perasaannya tidak enak.

Alis tebal dan hitam Bobby membentuk lipatan. "Kita nggak bakal bisa langgeng sampai sekarang kalau nggak serius, Yang," ujarnya seraya menghela napas dan mengetatkan genggamannya. "Kalau kamu ngomong gini karena masih marah gara-gara kemarin, aku minta maaf."

Tetapi Kirana buru-buru menggeleng. "Nggak. Bukan itu..." Lalu, ia kehabisan kata-kata dan malah menggigiti bibirnya tanpa sadar.

Melihat tingkahnya, Bobby menyadari ada yang tidak beres. Kebiasaan Kirana itu selalu muncul setiap kali perasaannya cemas. Tubuhnya lalu menyorong ke depan, siap menyimak penuh perhatian. "Ada apa? Coba cerita."

Kirana menarik napas sementara Bobby menatapnya penasaran.

"By, do you love me?"

"Of course I am."

"How big?"

"More than you think."

"Then, will you marry me?"

Kirana tahu dirinya pasti akan terlihat sangat konyol setelah mengatakan ini. Tapi ia tak punya pilihan lain. Mami memang hangat dan doyan bercanda orangnya. Tapi untuk perkara ucapan, dari dulu tak pernah sekalipun beliau bermain-main. Sengaja. Supaya Kirana belajar memaknai sebuah komitmen, katanya.

Ekspresi Bobby tidak berubah, masih loading mencerna kalimat gadis di hadapan. Namun, sejurus kemudian ia tertawa. "Kamu bercanda?"

Muncul setitik rasa kecewa di hati Kirana melihat respon pacarnya itu. "Aku serius, By. Ayo kita nikah. Toh kamu sebentar lagi lulus. "

Bobby melepaskan genggamannya karena waiter sudah datang mengantarkan pesanan. Ditatapnya Kirana lekat. Tak lagi tertawa.

"Bukannya kita udah sepakat mau menggapai mimpi kita masing-masing dulu sebelum ngomongin pernikahan?" tanyanya, serius.

"Iya, aku tahu...Tapi..." Kirana gelagapan, bingung harus mulai dari mana menjelaskannya.

"Aku akan anggap kamu lagi bercanda." Bobby menjawab lugas. "Untuk saat ini aku cuma ingin fokus ngejar S2 dan karir."

Dada Kirana serasa tertusuk sesuatu. Pikiran negatifnya mengambil alih. Tak menyangka Bobby bisa bersikap sedingin itu padanya. Meski secara logika omongan Bobby masuk akal, bukankah setidaknya Kirana berhak menjelaskan sampai tuntas? Kenapa semua orang tak ada yang mau mendengar keluh kesahnya. Termasuk pacarnya sendiri.

Cinta apaan. Bullshit!

Kirana merasa terhianati. Sudah dibuat gelisah semalaman hingga kurang tidur, jengkel oleh Adimas dan papi, eh sekarang ditambah pacarnya menolaknya mentah-mentah. Air matanya menggenang di pelupuk. Kesal dan sedih berpadu jadi satu.

"Duh, Ki..." Bobby mengesah frustrasi melihat pacarnya menunjukan gelagat akan menangis. "Sekarang bukan waktu yang tepat. Pameran udah di depan mata. Sebentar lagi aku juga harus ngejar dosen buat bimbingan. Bisa kita pending obrolan kita hari ini nanti?"

Tetapi Kirana sudah terlanjur dibutakan emosi.

"Nggak ada lain kali! Kita putus!" ucapnya berapi-api, lalu bangkit dan meraih ranselnya ke punggung, sebelum pergi keluar dengan langkah terburu-buru. Tak mau lagi menoleh ke belakang.

***












Just Friend's Scenario (Mulai Revisi - On Going)Where stories live. Discover now