15. Suddenly Taken (II)

37 7 0
                                    

"Kamu kenapa, sih?"

Pertanyaan terlontar dari bibir bunda. Beliau mendongak penasaran, mendapati putera bungsunya terus mondar-mandir macam setrikaan di hadapannya yang sedang duduk di ruang makan. Terigu, kuning telur, sp, gula dan mentega yang baru dicairkan bertebaran di atas meja, menunggu di eksekusi.

"Hm...," Adimas menjeda langkahnya. Keraguan terpancar dari wajahnya, dengan rambut berantakan lantaran diacak tangannya sendiri. "Bunda bikin apa, Bun?" Alih-alih, menjawab, ia balik bertanya sambil cengar-cengir.

"Mau bikin bolu dan kue buat bekal keluarganya Kiki pas pindahan," jawab bunda, memicingkan mata. Curiga mengamati kelakuan random si bungsu. "Kalo kamu lagi mumet tuh, cerita. Jangan dipendam sendiri."

Adimas membuka mulutnya, namun segera ia tutup kembali. Ganti mengusak kepala entah untuk ke berapa kalinya. "Aduh, gimana bilangnya, ya..." gumamnya, frustrasi.

Kerutan di dahi bunda semakin mendalam. Namun pertannyaan yang sudah siap beliau katakan, terjeda oleh dering ponsel miliknya. "Ya, Ri..." sapanya, setelah menekan tombol hijau dan loudspeaker. Tombol start standing mixer lalu ditekan. Perlahan-lahan, terigu dalam mangkok di tuangkan ke dalamnya.

Mata Adimas membola. Mendengar nama mami Kirana disebut, perasaannya seketika kacau balau.

"Sofiiiiii! Gimana ini, si Kiki dan Dimas katanya mau married! Sebenernya dari kapan mereka jadian?! Kok kita nggak dikasih tahu?!"

Prang! Mangkok berisi sisa terigu tumpah ke lantai. Kepulannya memenuhi udara. Keterkejutan mewarnai ekspresi bunda. Dengan mulut ternganga, beliau kemudian melontarkan tatapan tajam pada Adimas. Tak mengindahkan ocehan bernada panik mami Kirana di telepon.

"Kita harus bicara, Sof. Bentar lagi aku sama Kiki nyebrang ke sana!"

Adimas meneguk ludah. Ketegangan membias di wajahnya.

"Jelaskan, Dim," pinta bunda, dingin.

"Aku... Kiki...Kita..." Dengan terbata, Adimas mengutarakan penjelasan. Tetapi menyadari kalau ia takkan mungkin bisa berkelit, ia mendekati sang bunda lalu bersimpuh dan menciumi tangannya. Menafikan fakta kalau baju dan tangan beliau sedang belepotan terigu.

De Javu.

Bunda mengernyit bingung. Mengira-ngira apa lagi yang dialami putera bungsunya. Terakhir kalinya Adimas melakukan ini, ia mengaku bisnisnya terancam batal dilaksanakan.

Jangan bilang...

"Dim, Kiki hamil anak kamu?" tuduh bunda sekonyong-konyong, mengutarakan kengerian dalam benak.

Adimas tentu tidak terima. Ia mendongak dan menggeleng dengan tegas. Ada sedikit terigu menempel di hidung mancung dan pipi tirusnya.  "Astagfirullah, Bun... Nggak, demi Allah!"

"Gimana nggak negative thinking, si Kiki katanya baru putus, terus kemarin-kemarin kalian kan gendong-gendongan dan ngobrol di kamar," sambung Bunda.

"Iya, memang. Tapi nggak kayak gitu kejadiannya, Bun. Aduh, si Bunda mah..." Kalut, Adimas menyapu wajahnya menggunakan tangan. "Aku cinta Kiki, Bun. Aku nggak mau dia pindah. Aku nggak mau dia deket lagi sama cowok lain. Aku mau bareng-bareng terus sama dia sampai kita tua nanti."

Serangan beruntun Adimas membuat bunda terpana. Tangan beliau bergerak menutup mulut. Tak menyangka si bungsu yang kelihatan cuek ternyata memiliki sisi romantisme macam ini.

Tanpa mereka ketahui, sebenarnya ada satu orang lagi yang merasa terguncang di ambang pintu ruang tamu.

"Kamu serius, Dim?"

Adimas dan bunda serentak memutar kepala menuju asal suara. Mami Kirana mematung. Terlihat sangat shock. Menyangsikan apa yang barusan didengarnya.

"Kalau Kiki ngancam kamu atau apa, bilang sama Mami. Kamu nggak usah ngerasa terpaksa," timpal mami lagi.

Ya Rabbi.... Adimas mengesah. Apa setidak mungkin itu ia dan Kirana bersama. Kenapa pada nggak percaya. "Insya Allah, aku serius, Mi..." jawabnya.

"Allahu Akbar, mimpi apa si Kiki bisa dapetin kamu, Dim..." Mami lalu komat-kamit dan heboh sendiri, celingukan dengan tak sabaran ke arah tembok rumahnya di sebelah. "Mana anak itu, lama banget dandannya. Disuruh langsung nyusul ke sini juga."

Panjang umur.

Sesosok gadis mungil melintasi pagar Adimas. Mengenakan outfit gamis hijau muda bekas salat Ied beberapa bulan ke belakang. Wajahnya nampak sangat manis dihiasi pashmina berwarna senada. Kalau biasanya Kirana hanya menyampirkan kerudung di atas rambut, kali ini auratnya tertutupi sempurna.

Mami sampai speechless dan sempat tidak mengenali. Hampir saja beliau bertanya, "Mau cari siapa, ya?" ketika gadis itu membuka pagar dan mendekat.

"Loh, Kiki... mau kajian di mana kamu? Kan Mami udah bilang kamu harus tanggung jawab udah bikin orang tua kaget. Pokoknya, ceritain dari awal sampai akhir. Jangan ada yang ditutup-tutupin!" kata mami menepuk lengan Kirana.

"Hehehe..." Kirana memberikan cengiran pada maminya. Lalu, melangkah masuk ke dalam rumah. Begitu matanya bertemu dengan Adimas yang mengerling penampilannya sekilas, senyumannya terukir semakin lebar. 

Muncul suatu kebahagiaan aneh. Menyaksikan sahabat yang sedekat nadi menampilkan ekspresi terpana saat melihatnya. Sorot mata itu, menimbulkan suatu kesan. Entah kenapa, Kirana jadi merasa dirinya sangat berharga. Di dadanya mendadak timbul gelenyar-gelenyar asing. Bukan sejenis perasaan yang menimbulkan debaran memabukkan, tetapi perasaan berbunga-bunga yang memadamkan segala keresahan.

Benar. Hari itu, Kirana merasa sangat damai. Saking larut di dalam keharuannya, ia sama sekali tidak sadar kalau Adimas dan bunda cemang-cemong oleh terigu di mana-mana.

***

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Just Friend's Scenario (Mulai Revisi - On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang