28. Evening Primrose

28 6 0
                                    

Adimas terbangun di tengah malam. Bukan karena ia mendengar dengkuran keras Medi di lantai bawah, tapi karena ia belum terbiasa tidur di atas karpet yang dingin di ruang keluarga. Sebagiannya lagi, ia merasa gelisah kalau teringat besok akan melakukan grand opening toko online nya. Otaknya menjadi siaga.

Kira-kira akan bagaimana respon masyarakat. Menyambut baik? Biasa-biasa saja?

Dana investasi yang ia tanam memang tidak terlalu banyak. Tapi ia sangat ingin membantu bunda. Apalagi sekarang, ia sudah mempunyai tanggung jawab lain. Sebelum papi Kirana pergi, beliau sempat memanggilnya dan berbicara empat mata. Papi Kirana menyerahkan kepengurusan kontrakan milik keluarga di Bandung untuk ia olah dan pakai apabila diperlukan.

"Jangan dibutakan gengsi, " kata papi. "Harga diri lelaki tidak akan jatuh karena ingin menyenangkan istri. Pakai uang itu kalau perlu. "

Dengan kata lain, papi ingin Adimas membahagiakan Kirana.

Adimas harap, semoga ia bisa memenuhi kebutuhan dan keinginan Kirana menggunakan hasil keringatnya sendiri. Itu akan lebih bermakna.

Menyerah untuk meneruskan kembali tidurnya, Adimas bangkit dan memutar kenop pintu kamarnya hingga membuka.

Tampak bunda dan Kirana sedang tertidur pulas dengan berdempetan di kasur berukuran tidak terlalu besar itu. Bibir Adimas mengukir senyuman. Menatapi mereka penuh rasa sayang. Ada dua wanita kesayangan yang harus ia jaga mulai sekarang. Ia harus lebih kuat. Setelah puas mengamati mereka selama beberapa lama, amat perlahan, pintunya kembali ia tutup.

Hamparan sajadah digelar. Adimas menghabiskan sisa malam itu dengan menyerahkan seluruh pengharapannya pada Sang Pemilik Semesta.

Hari selanjutnya menyapa tanpa terasa.

Kang Fajri tiba di ruko dan dibuat terperanjat mendengar kabar baik Adimas melalui Medi dan Yasser. Pukul enam pagi mereka sudah berkumpul di lantai bawah ruko.

"Masyaa Allah, barakallahulaku wa baraka 'alaikum, semoga Allah memberikan keberkahan pada kalian..." sambut Kang Fajri sumringah, saat Adimas terlihat menuruni tangga.

"Aamiiin. Hatur nuhun, Kang." Adimas tersenyum dikulum, membawa turun panci magic com. DI belakangnya, bunda dan Kirana masing-masing membawa piring berisi lauk pauk untuk sarapan.

"Wah, ini pasti bunda dan istrinya Dimas, ya?" Kang Fajri menyapa sopan sambil menangkup dua tangan di depan dadanya.

"Iya, betul. Mari sarapan dulu, " balas bunda. Sementara Kirana mengulum senyuman dengan agak canggung. Sosok Kang Fajri ini baru pertama kali ia lihat, tapi auranya yang alim seketika membuatnya segan.

"Alhamdulilah, terimakasih. Maaf merepotkan, " kang Fajri menyahut ramah.

"Kamu jadi ke kampus? Mau bareng?" tanya Adimas, melirik Kirana yang sudah berpakaian rapi di jeda acara makan mereka. Tak peduli atmosfir ruangan berangsur hening, seolah mereka semua ingin menyimak obrolan pengantin baru.

Kirana hanya mengangguk, tanpa banyak penjelasan. Sejak semalam, perasaannya tak karuan. Banyak sekali alasan kegelisahannya pagi ini. Harus bertemu mantan dan profesor Smith yang artinya nasib beasiswanya mungkin akan segera ditentukan.

"Berapa lama? Mau kuantar pulang?" Semalam, Kirana sempat menceritakan soal profesor Smith yang ada di kampus mereka, sebagai salah satu kurator tamu, pada Adimas. Jadi, kurang lebih ia bisa meraba keresahan Kirana.

"Nggak usah. Kayaknya sampe sore. Aku harus bantu penutupan juga," cicit Kirana. Hari terakhir pameran. Keterlaluan kalau sampai akhir, ia tidak juga nongol. Padahal, seharusnya ia bertugas menemani Debby di stand penerima tamu.

"Oke. Telpon aja kalo mau dijemput," kata Adimas.

Kirana mengangguk.

"Habisin sarapannya," tambah Adimas, menunjuk piring Kirana yang masih setengah penuh dengan dagunya.

Kirana mengangguk lagi sebagai jawaban. Tak mengindahkan senyum-senyum dan raut takjub dari orang di sekelilingnya yang sedari tadi asik menyimak percakapannya dan Adimas.

"Dim, kita berangkat?" Kang Fajri bertanya setelah membantu menyusun tumpukan piring kosong ke atas meja.

"Yuk, tinggalin aja piringnya biar ntar dicuciin sama Medi, Kang, " Adimas bangkit, pura-pura tak melihat cebikan Medi ke arahnya.

"Bunda, aku duluan. Bunda beneran nggak mau dianter pulang?" tawar Adimas sambil menciumi tangan sang bunda.

"Nggak usah. Gampang Bunda mah. Sana fokus aja GO nya. Sukses, ya!" ucap bunda, menyapukan tangannya di pucuk kepala Adimas.

Sebuah jawaban 'aaamiiin' terdengar dari mulut para lelaki di ruangan itu.

Kini, Adimas beralih pada isterinya. "Ki, aku pergi dulu. "

Kirana mengedip-ngedipkan matanya bingung kala melihat Adimas menyodorkan tangan padanya. Baru detik kemudian ia tersadar, lalu menyambut uluran tangan itu dengan sebuah ciuman. Adimas tersenyum senang, sampai tak mendengar bunyi 'dehem-dehem' dua rekan di belakangnya. Dalam satu gerakan cepat, ia menghadiahkan sebuah kecupan singkat di kening Kirana.

Kontan di sekelilingnya gempar!

Sementara itu, Bobby tenggelam dalam kebahagiaan di mobilnya. Menyetir dengan penuh kehati-hatian memasuki gerbang kampus. Kemarin, ia sudah mendengar kalau profesor Smith menyukai lukisan Kirana. Artinya, kemungkinan besar mimpi Kirana akan tercapai. Terbayang olehnya hari-hari di masa depan. Ia dan Kirana akan kembali satu kampus dan mengenyam S2 bersama di Universitas Yale.

Pasti menyenangkan.

Setelah dipikir berulang kali, ternyata tawaran pernikahan dari Kirana tidak absurd sama sekali. Lagipula akan lebih aman bagi mereka berdua kalau sudah menikah dan tinggal bersama di luar negeri nanti. Mereka akan lebih leluasa saling memberikan support satu sama lain.

Tersenyum semakin lebar, Bobby melirik sebuah buket bunga berisi primrose evening. Menurut florist di toko bunga yang ia kunjungi, bunga itu memuat pernyataan 'i can live without you' . Terdapat juga sebuah kotak cincin beludru hitam terselip di bagian tengah buket itu.

Kirana pasti akan senang menerimanya, batin Bobby.

Kirana pasti akan senang menerimanya, batin Bobby

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

***













Just Friend's Scenario (Mulai Revisi - On Going)Where stories live. Discover now