4. Two Universe (II)

49 9 1
                                    

Siang itu di sebuah jalan perumahan, seorang gadis berkulit putih tampak susah payah membawa kardus berukuran cukup besar

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Siang itu di sebuah jalan perumahan, seorang gadis berkulit putih tampak susah payah membawa kardus berukuran cukup besar. Tak ia pedulikan keringat bercucuran membasahi poni di kening serta kausnya. Perhatiannya tersita pada isi kardus yang ia jaga dengan amat hati-hati, seolah membawa harta paling berharga di dunia.

"Nggak apa-apa. Aku ngerti, " Kirana merespon permintaan maaf Bobby melalui blootooth speaker karena tidak bisa mengantarnya pulang. "Makasih banyak supportnya. Doain semuanya lancar, ya, By."

Bibir mungil Kirana terus tersenyum-senyum, meski Bobby pamit dan memutus telponnya. Lalu, ia cekikikan sendiri. Kebahagiaannya melangit. Angannya terus memutar potongan kejadian di kampus.

Lukisan realismenya berhasil diapresiasi Mr. Smith, Professor Yale Unversity saat mengunjungi Fakultas Seni Rupa dan Desain tadi pagi. Rasanya tak sia-sia pengorbanannya begadang nyaris tiap malam. Malah tak disangka, ia mendapatkan tantangan baru dari Mr. Smith. Proyek untuk pameran yang jika berhasil ia selesaikan dengan baik, beasiswa penuh ke Yale akan berada di tangan.

"Gue pasti bisa!" seru Kirana berapi-api.

Namun, senyumnya memudar ketika ia sampai di ruang tamu. Tampak mami sedang sibuk menghamparkan kardus-kardus kosong berbeda ukuran di seantero ruangan.

"Assalamualaikum, Mi. Aku pulaaang! Loh, ini apaan banyak banget kardus di lantai. Mami mau buka bisnis online shop?! Kok Kiki nggak tahu? Lagi banyak pesenan?"serbunya, seraya melongok mengintip isi kardus-kardus, sebelum melontarkan tatapan bertanya pada sang ibu.

"Waalaikumsalam. Hus, jangan berisik, Ki! Kasihan anak tetangga yang lagi bobo siang!" seru Mami, mengingatkan. "Lagian kita kan mau ikut Papi ke Pontianak. Papi mu pindah tugas ke sana. Ini mami lagi nyicil packing biar nggak terlalu kerepotan," Mami menjawab tanpa mengalihkan fokus dari kardusnya.

Keheranan karena tak mendapat respon, mami melirik Kirana. Mendapati putri semata wayangnya membawa kardus lumayan besar, mami lantas memekik. "Aduh, ngapain kamu bawa-bawa itu sendirian. Sini, kasihin Mami!"

Kirana mengerjap-ngerjap, pasrah tinta dan bahan-bahan melukis yang baru dibelinya diambil alih mami. Tatapannya mengawang, mencerna situasi. "Gimana, gimana, Mi? Maksudnya aku harus tinggal sendiri di sini?" tanyanya, sejurus kemudian.

Giliran mami berkedip bingung. Peralatan lukis Kirana dalam kardus diletakkan di lantai. "Kamu mikir apaan? Mana bisa Mami tinggalin kamu. Kita semua ikut pindah. Kamu juga tinggal pindah kuliah ke kampus baru Papi."

Mendengar itu, Kirana tersentak. "Hah?! Tapi Mi, mana bisa kayak gitu. Kuliahku tinggal dua semester. Mana bisa aku pindah gitu aja?!" pekiknya, mulai panik.

"Terus Mami harus ninggalin Papi kamu yang udah tua tinggal di sana sendirian? Masa kamu tega."

"Tinggalin aja aku, Mi. Nggak apa-apa, hitung-hitung ngekost. Aku kuat. Aku hebat!"

Ekspresi mami langsung berubah menjadi mode garang mendengar penuturan Kirana, apalagi saat menangkap raut innocent gadis itu. Bisa-bisanya. Kapan anak ini sadar kalau dunia ini begitu luas?! Berpikir demikian, dengan bola mata seakan akan keluar dari rongganya, kedua tangan mami diselipkan di pinggang.

Mau tak mau, nyali Kirana menciut dibuatnya. Tanpa sadar ia melangkah setindak ke belakang,

"Kamu masak mie aja belum becus. Dikira gampang ngurus diri sendiri?" bisik mami, menakutkan. "Nggak! Pokoknya kamu harus ikut mami pindah!"

Kirana tak segera menjawab. Ia berusaha mengendalikan emosinya yang menggebu. Ketika ia bersuara, nadanya melengking dan tersendat seperti menahan tangis. "Mami kenapa jadi jahat sama aku?"

Sinar wajah mami berganti-ganti antara sedih, marah dan kecewa. Menyangka mami sudah melunak, Kirana segera memanfaatkan kesempatan. Ia menyambar dua tangan beliau.

"Mi, aku nggak bisa pindah kampus sekarang. Aku ada proyek penting! Tambah sebentar lagi jurusanku mau ngadain pameran karya buat tugas akhir," ratapnya, tak lupa memasang wajah puppy eyes andalan. "Aku udah lama nyiapin proyek ini, begadang setiap malam, nggak mungkin dibatalin."

Belum sempat mami melontarkan jawaban, Kirana sudah memotong. Dua jarinya membentuk huruf V. "Aku janji bakal melakukan apapun, Mi, asal dibolehin tetap kuliah di sini. Gimana, Mi? Boleh, ya?" rayunya sememelas mungkin.

Mami menggeleng-geleng mengamati Kirana yang memang terkenal kepala batu sejak kecil. Tapi mana mau mami kalah taktik sama anak kemarin sore? Oh, tidak bisa!

"Yah, kalau kamu maksa, apa boleh buat. Mami terpaksa kasih syarat. Kamu harus..." Perhatian mami teralih karena melihat Adimas tengah memacu motornya melintasi rumah. Mengenakan helm dan jaket tebal serta membonceng dua kardus berukuran besar yang sudah diikat di jok belakangnya. Mata beliau menyiratkan kekaguman. Sepak terjang Adimas yang semakin mandiri telah menyentuh bilik hatinya.

Jantung Kirana berdetak dua kali lebih cepat menanti kelanjutan perkataan mami.

"Syaratnya apa, Mi?" tanya Kirana tak sabar, sengaja mengguncang tangan ibunya. Sepenuh hati berharap, semoga ibunya tidak mengajukan persyaratan berat, apalagi yang aneh-aneh.

Tiba-tiba mami mendapatkan ide setelah melihat Adimas. Wajahnya mendadak bercahaya, "Kamu harus punya suami!" ucapnya mantap, membebaskan tangan dari genggaman Kirana. Nah, kalau dikasih syarat yang mustahil begitu pasti Kirana tak bakalan berkutik!

"Apa?!" Kirana membelalak. "Usulan absurd macam apa itu, Mi? Yang bener aja..." Sisa darahnya seolah tersedot keluar, membuat kulitnya memias. "Mana bisa aku nikah secepet ini?"

"Habisnya mau gimana lagi. Mami kan nggak mungkin tinggalin anak perawan Mami satu-satunya di Bandung. Mana pergaulan anak muda jaman sekarang lumayan bebas, ih...membayangkannya saja mami tak sanggup! Beda ceritanya kalau kamu punya suami. Kamu bakal ada yang ngejagain dan merhatiin. Makanya cari suami yang betul-betul menyayangi kamu, Ki."

"Dan jangan sekali-kali berpikiran kamu mau tinggal bareng Tante Sofie dan Adimas. Mau dikemanakan muka mami kalau tetangga sampai lihat kamu tinggal di sana. Adimas itu cowok, kalau-kalau kamu lupa!" Satu tangan mami teracung, mewanti-wanti.

Kirana langsung speechless mendengar ultimatum mami. Jadi seperti ini toh rasanya berhadapan dengan mantan juara debat semasa sekolah.

"Pokoknya dalam waktu tiga minggu, Mami akan tanya apa keputusan kamu! Nikah atau pindah. Nggak boleh ada tawar-menawar lagi!"

Skak mat.

***

Just Friend's Scenario (Mulai Revisi - On Going)Where stories live. Discover now