5. Two Universe (III)

52 9 4
                                    

Jarum jam terus bergerak

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Jarum jam terus bergerak.

Kegelapan yang pekat mulai menyelimuti bumi. Namun, belum ada tanda-tanda kepulangan Adimas. Kirana menggigit bibirnya, resah. Diliriknya ponsel berkali-kali. Berharap ceklis dalam kotak whattsap nya buru-buru berubah menjadi ceklis dua.

Pesannya untuk Bobby. Dan, untuk Adimas.

Sepertinya Bobby sedang tak bisa diganggu. Pasti karena harus menangani seabrek proyek jurusan atau apalah. Maka, tumpuan yang tersisa hanya Adimas.

Kirana bertekad mengajak Adimas gencatan senjata. Akan ia kesampingkan segala perasaan sebalnya selama beberapa bulan ke belakang. Adimas yang terang-terangan sudah berbeda server. Asik bergaul dengan komunitas Ikhwan-akhwat di kampus hingga terkesan melupakannya. Ya, ya. Kirana ikhlas. Asalkan ia mendapatkan solusi hari ini juga. Mulutnya gatal ingin curhat. Apalagi masalahnya ini sudah menyangkut hidup dan mati buatnya.

Urgent!

"Martin Luther King Jr mengatakan, 'Kamu bisa membunuh si pemimpi, tapi kamu takkan bisa membunuh mimpinya! Semangat!" ucap Kirana menggebu-gebu.

Kalau dipikir lagi, sebenarnya kesibukan apa yang membuat dua lelaki itu kompakan mematikan ponsel. Stok kesabaran Kirana sudah diujung tanduk. Entah sudah berapa kali ia mengelilingi kamar bernuansa serba pink miliknya.

Berdiri di depan jendela kamar yang terbuka, Kirana lalu memandangi taman hias kecil di hadapan. Malam itu luar biasa dingin, wangi aspal basah tercium pekat, berbaur dengan aroma mawar yang menjadi bunga favorit mami. Jalanan komplek sangat lengang. Nyaris tak terdengar suara apapun, kecuali tetesan air dari talang sisa hujan di depan rumah.

"Dalam waktu tiga minggu, Mami akan tanya apa keputusan kamu!"

"Aduh... " Kirana meringis, memeluk kedua lengannya. Matanya terpejam sejenak, mencoba menghalau serangan sakit kepala. Sia-sia usahanya berpura-pura tidak memedulikan ucapan mami.

Ingin Kirana berteriak. Ia sengaja berlatih gambar siang-malam, bahkan sampai mengikuti kursus privat segala, bukan untuk disia-siakan di tengah jalan. Apalagi fakultas seni rupa di kampusnya adalah yang terbaik se-Indonesia, proses seleksi masuknya saja susah bukan main! Lalu, tujuh hari lagi pameran akbar karya seni kampus akan dihelat. Mustahil mudur sekarang.

Kemudian... apa yang harus ia katakan nanti pada Bobby, pacarnya? Tawaran Long Distance Relationship? Atau... ajakan putus?

Kirana mengerang tak berdaya.

"Bodoh! Bodoh! Bodoh! Kenapa otakku mendadak bebal kalau urusan lagi genting begini!" Jengkel, Kirana membenturkan pelipisnya sekuat tenaga ke kusen jendela. Nyaris tengah malam ketika ia akhirnya memutuskan menyerah. Tak lagi menunggu Adimas. Malam itu, merupakan malam yang panjang untuknya. Kirana tertidur membawa segala beban pikiran.

Sementara itu, berjarak tiga belas kilometer dari rumah Kirana, tiga lelaki berusia awal dua puluhan sedang bergotong royong di sebuah ruko tua yang berukuran lumayan luas.

"Dim, bantulah aku seret lemari ini ke pojokan!" seru Medi dengan logat khas Medannya.

Adimas yang baru saja menyapu lantai, bergegas meletakkan sapu dan pengkinya ke pinggir ruangan, kemudian membantu cowok berperawakan tinggi besar itu.

"Satu... Dua... Yok, angkat!" Medi memberi komando. Dua tangannya sudah mulai mengangkat sisi lemari, diikuti Adimas di sisi yang lain.

"Wah, banyak pisan noda membandelnya. Bismillah... " Yasser berjongkok lalu sibuk menaburkan baking soda pada keramik lantai yang berkerak, sebelum menggosoknya dengan spons lembap. Mulutnya riuh melantunkan bacaan Al Baqarah, An-Nas, Al-Falaq, dan Al Ikhlas. Sekalian merukiah tempat, katanya. Maklum, ruko sewaan mereka itu tidak ditempati lagi pemiliknya selama bertahun-tahun.

Bau apek yang menyengat, menyeruak.

"Ini sih, nggak bakalan cukup diberesin semaleman," kata Adimas, agak ngos-ngosan setelah memindahkan lemari jati yang sengaja ditinggalkan pemiliknya itu.

Netranya mengitari ruangan lalu terpaku pada jaring laba-laba di atas plafond. Belum lagi jendela yang dekil, cat tembok yang kusam dan mengelupas. Banyak sekali PR mereka.

"Tak apalah. Lagipula, ruko ini biarpun sudah uzur, tapi layak huni. Murah pula. Bayangkan, ada tiga kamar besar-besar di sini. Satu buat si Yasser di lantai bawah ini, biar sekalian jaga toko lah dia. Dan dua lainnya ada di lantai dua, dipisahkan ruangan TV. Kalau kita nikah dan bawa istri masing-masing nantinya, privasi akan terjaga, kan. Ruangan TV itu juga lumayan luas, cocok buat ruang bermain anak-anak. Dapur ini nanti akan kuisi perabotan memasak lengkap, supaya istri-istri kita betah berkreasi. Menunaikan separuh agama dengan nyaman dan tentram. Ah, luar biasa rasanya..." papar Medi menerawang ke satu titik di atas. Seulas senyum menghiasi bibirnya.

Adimas dan Yasser saling melempar pandang lalu terpingkal-pingkal menyaksikan tingkah Medi.

"Kacau. Baru juga mau mulai usaha udah ngehalu kemana-mana. Kerja!" hardik Adimas, melemparkan sebuah kain lap basah ke arah Medi.

"Eh, tapi... Boleh juga ide lo, Med. For your information, kabarnya Kang Fajri lagi taarufan sama salah satu akhwat di kampus kita. Kayaknya... gua berminat pingin ngikutin jejaknya," ucap Yasser cengar-cengir, menghentikan dulu kegiatan ngepelnya.

Tinggal Adimas yang menggeleng-geleng melihat kelakuan dua kawannya. "Istighfar. Macam kucing birahi aja kalian berdua," komentarnya.

"Lha, memangnya kau belom ada niatan berumah tangga? Waktu kita di kampus tinggal setahun lagi, Dim. Kalau mau mendapatkan bidadari kampus, tak ada salahnya dari sekarang mulai mencari kandidat. Lagipula, orangtuaku nanti pasti suka kalau aku lulus bawa calon pedamping sekalian...." Medi terus mengoceh panjang lebar, sembari mengusap kaca jendela menggunakan kain lap.

"Jam berapa sekarang?" gumam Adimas, sama sekali tak memedulikan Medi. Ia malah meraih ponsel dari saku celana jeansnya. Tetapi, hanya ada layar hitam yang tampak.

Baterai ponselnya habis.

***

***

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Just Friend's Scenario (Mulai Revisi - On Going)Where stories live. Discover now