24. New Life

29 6 0
                                    

Bukan tanpa alasan Debby terkejut.

Fakta bahwa Kirana dan Adimas sudah bersahabat sejak kecil memang sudah banyak diketahui orang-orang. Masalahnya, Debby belum pernah melihat Kirana dan Adimas bersikap seintim sekarang. Ia terus menyorot tangan keduanya.

Tautan tangan itu mutual! Mereka saling menggenggam satu sama lain. Oh, My God! Debby susah payah menahan pekikan dalam hati.

"Gue jelasin nanti. Gue mau minta tolong kasihin lukisan ini ke panitia! Thanks, yaaaa, Deb!"

Kirana mengambil alih lukisan di tangan Adimas lalu menyerahkannya pada Debby. Setelah itu, ia menggamit lengan Adimas supaya pergi ke arah tempat parkir terburu-buru. Meninggalkan Debby yang tercengang di tempatnya.

Itu Adimas yang terkenal judes itu, kan?! Dulu sekali, sewaktu mereka masih berstatus mahasiswa baru. Pernah Debby melihat Kirana mengganduli Adimas seperti saat ini, tapi cowok itu langsung mencak-mencak menolak. Jadi, apa yang membuatnya mendadak berubah?

Wah, wah, wah... Gosip gede! Debby menangkupkan dua tangan menutup mulutnya.

"Lo belum jawab pertanyaan gue, Ki," Adimas mengingatkan.

"Aduh, Dim. Gue lagi males bahas dia. Pokoknya gue sama dia udah putus. Titik! Bisa fokus soal kita aja nggak?" Kirana menyahut malas-malasan. Ajaibnya, mendengar kalimat terakhir Kirana, bara api di dada Adimas berangsur mereda.

Tentang kita.

Boleh juga. Ia suka ide itu. Adimas tak bisa menahan senyuman. Angannya membayangkan kehidupan yang akan dijalani bersama Kirana ke depannya.

***

Keriuhan di kediaman Kirana dan Adimas belum berakhir.

Tenda dalam proses pembongkaran. Para tetangga dekat terlihat masih berada di sekitar, membantu membereskan sisa-sisa kekacauan yang ditinggalkan para tamu undangan di area lokasi.

Di dalam rumah, pak Hambali sibuk menyusut air matanya.

Malam ini merupakan malam terakhirnya di Bandung. Besok pagi-pagi sekali, orang tua Kirana harus segera ke bandara.

"Jaga diri kamu baik-baik, Ki. Papi janji liburan semester nanti akan langsung ke Bandung!"

"Iya, Pi..." Kirana menjawab cepat.

"Kalau ada masalah, langsung telpon Papi. Dua puluh empat jam waktu Papi pasti ada buat kamu, Ki.

"Iya, Pi..."

"Jangan terlalu capek. Kalo ada yang jahatin kamu di kampus, bilang aja kamu anaknya Pak Hambali..."

"Iya, Pi..."

"Kenapa kamu cuma iya-iya aja," protes papi, membersut hidungnya keras-keras.

"Habisnya harus gimana, Pi. "

"Belajarlah jadi isteri yang baik, Ki," Mami serius mewanti-wanti, sembari menghitung jumlah koper dan barang bawaan dalam kardus di atas lantai.

"Iya, Mi..." Kirana menjawab dengan nada santai yang sama.

"Nanti kamu bakal ikut Dimas pindah ke ruko, kan?" tanya mami, menoleh menatap sang puteri.

"Gimana, Mi? Siapa yang bakal ikut Dimas?" Kirana balik bertanya, takut ia salah mendengar.

"Memang siapa isterinya Dimas?!" Mami menyentak, agak keras. Matanya melotot. "Jangan bilang kamu mau tinggal di rumah kosong ini sendirian? Memangnya berani?" tanya mami tak percaya. "Kamu juga jangan keukeuh tinggal bareng Bunda. Awas! Seorang isteri harus ikut kemanapun suaminya pergi. Mami nggak mau denger kamu ninggalin suami kamu sendirian!"

"Aku...aku... "Jelas sekali ia tidak memperkirakan kemungkinan tinggal di ruko yang disewa Adimas. Ekspresinya mulai menunjukkan tanda-tanda panik. Ruko Adimas mirip rumah hantu, omong-omong! Sudah lapuk, bergaya colonial, lagi. Hiiiiy! Serasa syuting film penyembah setan jadinya.

Tak kuasa membayangkan, Kirana bangkit dan melesat keluar. Bermaksud menyebrang ke rumah sebelah.

"Diiiiiim.... Diiiiim....!" Teriak Kirana, memijak tangga menuju lantai atas, berlarian. Lalu, ia membuka pintu kamar Adimas.

"Ya Allah, Ki...Apa harus kita bikin pasal tambahan di perjanjian kita? Jangan nyelonong masuk gitu aja," tegur Adimas tanpa menoleh. Ia sedang membereskan buku buku diktatnya ke dalam kardus. "Aku nggak keberatan kalau kamu ngintipin aku lagi telanjang sekalipun. Tapi kalo dibiarin, bisa jadi kebiasaan jelek, entar!"

"Ih, ge-er. siapa juga yang mau ngintipin!" sungut Kirana. Mendengar nada bercanda dalam suara Adimas, ia tahu lelaki itu sama sekali tak marah. Jadi, ia langsung menyerbu masuk ke dalam kamar dan berjongkok di samping Adimas.

"Dim, jangan bilang aku harus ikut kamu ke ruko?"

Kirana sudah mengubah panggilannya jadi 'aku-kamu' dengan nada manja. Adimas menoleh, dan tersenyum dikulum.

"Baru sehari nikah, kamu udah siap LDR-an?" tanya Adimas. "Tokoku mau grand opening dua hari lagi, Ki. Aku harus ke sana, bantu-bantu. Aku sebenernya nggak masalah kamu mau di sini bareng Bunda. Tapi, apa kamu siap diceramahi Mami lagi?"

Uh! Kirana merengut kesal.

"Paling nggak, sebulanan sampe usahaku stabil, kita harus tinggal di ruko, Ki. Habis itu, kita balik lagi tinggal di sini atau mau di manapun juga boleh, " kata Adimas seperti bisa menebak jalan pikiran Kirana.

Yah, apa boleh buat. Daripada tiap malam kupingnya pengang gara-gara ceramahan by phone si mami. Kirana terpaksa mengangguk setuju.

"Kapan kita pindah?" cicit Kirana, mimiknya sudah dibuat memprihatinkan. Adimas terbahak melihatnya.

"Besok sore."

Sebuah usapan lembut dilayangkan Adimas di kepala Kirana.

***

Just Friend's Scenario (Mulai Revisi - On Going)Where stories live. Discover now