19 Makna Sebuah Janji (III)

34 7 0
                                    

Adzan Isya mengalun indah dari masjid komplek.

Sudah mengenakan kostum pengantin, Adimas menghamparkan sajadah dan menunaikan salat. Selepas salam penutup dibacakan, cukup lama ia terus duduk dan mengulang-ngulang dzikir guna menenangkan perasaannya.

Malam itu amat terasa berbeda dari biasa. Jangkrik dan bebunyian serangga yang biasanya kerap terdengar di luar balkon, ditenggelamkan oleh sahutan 'Assalamualaikum' dari para tetangga. Satu persatu, mereka mulai berdatangan ke  depan pelataran rumah Kirana untuk menjadi saksi. Terdapat layar proyektor besar terpajang di bagian tengah tenda, supaya tamu yang tidak kebagian tempat duduk di dalam rumah Kirana, tetap bisa menyaksikan prosesi ijab kabul dilangsungkan.

Di saat-saat seperti ini, Adimas jadi teringat almarhum ayah. Perasaannya terpilin. Ia rindu...Sungguh, rindu sekali. Seandainya ayah masih ada bersamanya, tentu momen ini akan semakin sempurna.

"Ayah, aku minta doa restu..." Sengatan kesedihan mengemuka, memicu cairan di sudut matanya. Cepat-cepat disekanya tangis. Adimas meraih ponsel lalu mengirim pesan pada Mas Raka. Mengabarkan sebentar lagi ia akan segera mengikrarkan akad. Kemarin, kakaknya meminta maaf karena tak bisa pulang ke Indonesia, tetapi Mas Raka berjanji akan mengusahakan nonton secara live streaming.

Saking terlalu larut dalam ketegangan, Adimas tidak mendengar pintu kamarnya telah diketuk berkali-kali.

"Dim, kita harus ke rumah Kiki sekarang, Bapak Penghulu dan Ketua RT udah datang, " Bunda berkata.

Finally!

"Iya, Bun," Adimas menyahut dengan suara parau. Ia segera pergi tanpa sempat menggulung sajadah. Pikirannya sudah kelewat sibuk.

Ledakan euforia sanak saudara langsung menyambutnya begitu menuruni tangga.

"Selamat, Dim!"

"Dari temen jadi demen. Siapa sangka ternyata kamu udah jagain jodohmu dari kecil, Dim!"

Kekehan dan tawa mewarnai sepanjang perjalanan Adimas melintasi ruang tamu rumahnya, disertai tepukan hangat di pundak. Memberikan dukungan. Di bawah tangga, kakak kandung bunda sudah menunggu. Beliau didaulat menjadi saksi sebagai pengganti almarhum ayah.

"Siap ya, Dim, nyamperin pacar lima langkahmu? Jangan panik. Kan ada kertas contekan di atas meja, kalau-kalau kamu lupa," beliau bercanda, ingin mengendurkan syaraf-syaraf tegang di muka keponakannya.

"Bisa aja si Uwa." Adimas mengulum senyuman seraya mengucapkan terimakasih, meski hatinya gelisah bukan main. Bisikan dan tatapan mata tamu undangan yang duduk di tenda, turut mewarnai perjalanan iring-iringan Adimas dan sanak saudaranya. Dalam waktu tiga menit, mereka pun tiba di beranda rumah sebelah. Tanpa macet. Tanpa drama.

"Kayaknya baru kemarin lihat kalian berdua main ayunan dan perosotan di taman komplek. Eh, sebentar lagi mainnya pindah tempat yang lebih privasi ya, Dim?"

Seorang bapak yang rumahnya berjarak dua rumah dari Kirana, menyeletuk spontan. Banyak tamu tak bisa menahan tawa karenanya.

"Namanya jodoh, nggak ada yang tahu, Pak." Timpal tetangga yang lainnya.

Adimas menanggapi celotehan mereka dengan senyuman samar. "Permisi, Pak," pamitnya.

Ruang tamu sudah disesaki keluarga besar Kirana dari pihak mami dan papinya yang memang asli Bandung. Semua kursi dan meja sudah diungsikan entah kemana. Semua lantai dialasi permadani dan untaian hiasan bunga hidup yang memenuhi pinggiran plafond. Semerbak aroma khas carnations atau bunga anyelir menyerbu penciuman.

Kemarin-kemarin, mami dan bunda sempat koar-koar membahas soal ini. Mereka bilang sengaja mendekor menggunakan jenis bunga itu karena merupakan simbol dari daya tarik, perbedaan, pengabdian dan cinta. Ah, ada-ada saja.

Sudut bibir Adimas tertarik ke atas, mulai mengerti kenapa Kirana melayangkan protes. Ternyata bukan hanya kamar pengantin yang tampilannya menyaingi toko bunga. Seluruh ruangan sepertinya sudah berubah jadi taman bunga dadakan. Dikerlingnya sepintas, mencari keberadaan calon pengantinnya di ruangan itu.

Ternyata tak ada.

"Mari, sebelah sini

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Mari, sebelah sini." 

Seorang paman Kirana berinisiatif memandu mereka ke ruang keluarga. Aneh rasanya. Adimas sudah jutaan kali menyambangi rumah Kirana, tetapi segalanya nampak tak familiar sekarang. Semua dindingnya tertutupi kain putih dan hiasan bunga-bunga yag tak hanya menggantung di dinding tapi juga di pinggiran karpet. Sebuah meja dan dua bantalan empuk berwarna putih diletakkan di tengah-tengah. Kesan simple namun elegan melekat kuat. 

Para saksi inti seperti pak RT, Ustadz, beberapa orang pengurus KUA, penghulu, serta orangtua Kirana sudah duduk di pinggir karpet, menyisakan tempat bagi keluarga Adimas.

Tetapi bukan mereka yang menjadi focus Adimas. Maniknya tertuju pada sesosok gadis mungil yang duduk diapit mami dan papinya. Kirana memberikannya senyuman. Keduanya bertukar pandang sebentar, tapi si gadis buru-buru memalingkan wajahnya.

Adimas terkesiap.

Kirana memang sudah cantik. Malam ini malah seribu kali lebih cantik. Namun, sikap malu-malu yang diperlihatkannyamembuat Adimas tergetar. Sepertinya, bukan hanya dirinya yang grogi, Kirana juga merasakan hal serupa. Perasaan haru menyemai dalam hati, sampai-sampai ia tak melihat delikan tajam papi Kirana padanya.

Akad yang ditunggu-tunggu, bergulir tanpa kendala.

Kirana baru dipersilakan menempati bantalan di sebelah Adimas setelah para saksi menyatakan sah. Mata lelaki itu memerah, begitu pula hidungnya. Bukan karena papi menjabat tangannya sekuat mungkin sambil merengut. Lebih dari itu, Adimas merasa ikatan tak kasat mata telah terbentuk. Ia menyadari sebuah tanggung jawab teramat besar telah diamanatkan.

 Adimas teringat satu ayat di dalam Al Qur'an.

"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu." (At-Tahrim: 6)

 Jika berhasil menjalankan tugasnya sebagai suami, maka ganjaran surga akan diperoleh. Lalu bagaimana jika suami gagal?

Tidak terbayang betapa berat pertanggungjawabannya.

Kirana merasakan tangan Adimas bergetar saat menyematkan cincin pernikahan di jari manisnya. Lelaki itu tak menatap wajahnya, melainkan agak menunduk, seperti menahan diri kuat-kuat supaya tidak menangis. Mau, tak mau, Kirana jadi ikut terenyuh. Semua atmosfir di sekelilingnya ini terasa sacral dan asing.

Terbawa suasana haru, Kirana memandangi iba sosok di hadapannya. Bayangan bocah lelaki gempal menggemaskan yang dulu menangis terisak lantaran diejek teman-temannya, terlintas. Maka, tanpa memedulikan reaksi orang-orang di ruangan itu, Kirana beringsut mendekap Adimas erat-erat dan memberikan tepukan menenangkan di punggungnya.

"Ssh, Dim. Aku di sini, " bisik Kirana lembut, ketika ia merasa punggung lelaki itu beruncang-guncang karena tangisan.

"Bantu aku jadi imam yang baik buatmu, Ki," balas Adimas dengan suara teredam di bahu Kirana.

***

Just Friend's Scenario (Mulai Revisi - On Going)Where stories live. Discover now