14. Suddenly Taken

38 8 1
                                    

Kirana menghampiri tembok pembatas tempat Adimas sedang berdiri, sembari menyeret sebuah bangku kecil. Alis Adimas naik, mempertanyakan maksud Kirana. Namun, ketika dilihatnya si gadis mungil memijak bangku lalu menaikkan sebelah kakinya berusaha memanjat tembok, barulah mulutnya ribut bersuara.

"Eh, Ki, apa-apaan kamu? Hati-hati!" serunya, otomatis menjulurkan tangan dan berhasil menangkap Kirana tepat waktu saat ia terjun.

"Lain kali, jangan kayak gitu lagi. Bahaya! Buat apa ada pintu. Apa perlu kita jebol temboknya sekalian?" semprot Adimas ketika Kirana sudah berdiri tegak lagi di atas lantai.

Kirana malah nyengir lebar, membuat matanya nyaris menghilang. Senyumannya itu menular. Dua sudut bibir Adimas berkedut kemudian tertarik ke atas, menampakkan lesung pipinya. Cowok itu berpaling setelah menoyor jidat Kirana lebih dulu.

"Dasar! Nyengir, bukannya mikir!" dumelnya.

"Yuk, sekarang kita temuin Bunda," kata Kirana, berseri-seri. Tangannya sempat bergerak menggenggam sebelah tangan Adimas tapi keburu ditepis, pelan.

"Eits, belum mahram, tahu!" Adimas mengingatkan.

"Ah, iya, iya, kan soon to be ini," tukas Kirana menghentakkan dua kakinya tak sabar. "Cepetan kita bilang Bunda dan Mami, Dim."

"Harus sekarang banget bilangnya?"

"Ohohoho, tentu nggak, lusa aja bilangnya, biar kita nikah di bandara!"

"Maksudku, seharian ini kamu udah nemu kaca, belum? Susut dulu tuh iler. Mana ada calon pengantin dekil kayak kamu. Mana masih pake piyama, lagi. "

"Ah..." Kirana mengamati pantulan penampilannya melalui jendela kamar Adimas, "Iya juga. Nggak sopan banget gue. Lo...Eh, kamu pasti ilfeel ya, Dim?" Kirana tergeragap, masih belum terbiasa menggunakan sapaan terbarunya. Agak canggung rasanya kalau berhadapan face to face begini, sebab selama dua puluh dua tahun bersama-sama, ia sudah terbiasa ber-lo-gue dengan Adimas.

"Banget! Sana mandi. Bau, tahu!" balas Adimas. Tetapi tangannya cepat-cepat menjawil lengan piyama Kirana, begitu si gadis berjalan mendekati tembok. "Bandel banget kalau dibilangin!"

Lalu, diputarnya balik badan Kirana. Telunjuknya mengarah ke pintu kamarnya. "Pintunya sebelah sana, Nona. Nanti turun aja ke bawah, belok kiri lanjut ke ruang tamu dan bakal ketemu pintu keluar."

"Nanti ketahuan Bunda dong, kalau aku nerobos masuk tempat kamu."

Kirana sengaja mengedip-ngedipkan mata buat menggoda, sementara Adimas berpura-pura bergidik jijik melihatnya.

"Setelah jutaan kali ngelakuin, baru nyadar sekarang, hm?" omel Adimas. "Sana, pulang!"  Ia mendorong pelan punggung Kirana supaya cepat beranjak.

"Iya, iya, aku pulang." Kirana melangkah ringan menuju pintu. Jiwanya serasa melayang-layang di udara. Harapan yang sempat layu kini telah mekar kembali. "Nggak jadi pindah, du du du..., Yale I'm in love! Du du du..."

Nyanyian ngaco itu, menyadarkan Adimas apa tujuan sebenarnya Kirana mau menikahinya.

 Bukan karena dirinya. 

Adimas tertegun. Ditelannya ludah yang terasa pahit. Kegetiran memenuhi relung hati, mengakibatkan senyumannya memudar. Idealnya, pernikahan adalah kebaikan yang harus disegerakan. Sebuah upaya menyempurnakan agama.

Bukan seperti ini.

Ketika dilihatnya Kirana hampir menghilang di balik pintu kamar, Adimas spontan memanggilnya. "Ki, tunggu! "

Langkah Kirana pun terhenti. Ia menoleh dan berbalik menatap sepasang mata tajam milik sahabat kecilnya dengan sorot penuh ingin tahu.

Adimas menarik napas panjang dengan batin mengulang istigfar, memohon ampunan atas napsu yang bersarang di atas niat sucinya mempersunting Kirana. Sedangkan Kirana jelas-jelas menyatakan niatnya demi meraih beasiswa universitas Yale, Amerika. Niat mereka berdua sudah jelas salah!

"Ki, kita nikah bukan karena friends with benefit. Tapi friends with bonafide. Demi menjaga kehormatan kita berdua. Niatkan ibadah dan belajar bersama. Aku janji akan mendukung kamu sampai kemanapun. Aku harap kamu pun begitu," ucap Adimas setulus hatinya.

Kirana mengangguk tanpa banyak pertimbangan. "Aku setuju. Ada lagi?"

Adimas memandangi sekilas rambut sebahu Kirana yang asal-asalan dijepit ke atas dan tubuh mungilnya yang terbalut piyama pink bergambar hati. "Aku...ingin kamu menutup auratmu. Bisa?"

Kirana termenung mendengarnya. Memiringkan kepala ke kiri, tak paham. "Kamu pingin aku jilbaban? Why? Dulu kamu nggak pernah protes tuh. Kenapa tiba-tiba sekarang kamu request itu."

"Aku ingin kamu aman dan nggak ada yang ganggu."

"Hah?"

Kirana ternganga. Semula, ia mengira akan mendengarkan semacam kultum keluar dari mulut Adimas. Maklum, circle nya kan anak-anak masjid semua akhir-akhir ini. "Kok kayak gitu alasannya?"

Adimas menghela napas. Nampak berpikir sebentar, memikirkan jawaban simple dan paling jujur supaya mudah dimengerti. "Iya. Aman dari siksa neraka dan nggak diganggu tatapan jelalatan cowok lain. Karena buatku, kamu berharga..." katanya, semakin lama semakin lirih. Tangannya bergerak menggaruk tengkuk. Malu sendiri mendengar perkataannya barusan.

Di luar dugaan, ternyata hanya Adimas yang merasa begitu, karena Kirana justru terkekeh dan dengan enteng membalas ucapannya. " Oh...Ok, Dim. Nanti aku balik lagi, ya. Mau pilih jilbab yang cocok dulu buat ketemu camer dan calon suami."

Adimas mengulum senyuman. Mencoba membuang pikiran negatifnya jauh-jauh ke dalam tong sampah. Mereka berdua akan baik-baik saja. Selain ibadah, pernikahan merupakan upaya saling membahagiakan. Setidaknya, Kirana telah berusaha menghargai keinginannya. Terlepas dari pemahaman Kirana yang masih awam soal agama, ia sendiri juga masih merangkak dalam berhijrah. Toh mereka bisa belajar bareng-bareng nanti.

Bismillah...doanya, lirih.

***

Just Friend's Scenario (Mulai Revisi - On Going)Where stories live. Discover now