Part 1. The Bad Boy is Arga

736 95 0
                                    

kanaya55

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

kanaya55

------------------&-------------------

Arga terbangun dalam keadaan sakit kepala, serasa jutaan paku menusuk-nusuk kepala untuk meledakkan otaknya. Dia benci bangun dalam keadaan setengah mabuk seperti ini. Akan tetapi sebagai raja pesta, dirinya tak suka menolak ajakan berpesta dengan teman-temannya.

Hingar bingar suara musik, tubuh-tubuh yang bergoyang meliuk-liuk seirama musik, aroma keringat, alkohol bercampur parfum. Arga suka semuanya. Ia menemukan kedamaian di tengah-tengah keributan yang dihasilkan. Minum-minum sebenarnya hanya bonus, agar suasana pesta makin seru dan terjaga. Meskipun sudah berkali-kali mabuk, bahkan sampai muntah-muntah. Arga, si raja pesta tetap mencintai dunia malam.

Ia kemudian terduduk di ranjangnya, bajunya sudah dilepas, hanya celana panjangnya saja yang masih melekat. Sepatu dan kaus kakinya pun sudah dilepas dan diletakkan dengan rapi di tengkuknya.

"Setidaknya ada gunanya mama mengambil gadis itu dari jalanan," decihnya dalam hati.

Ia kemudian melirik meja di samping tempat tidur seperti biasa sudah tersedia segelas air putih dan sebutir obat sakit kepala. Tenggorokannya terasa kesat, seperti habis berpetualang di gurun pasir. Buru-buru ia meminum air yang sudah disediakan, berikut pil yang sudah disediakan.

Dengan terhuyung-huyung, lelaki bertinggi 185 centimeter itu bangkit dari kasurnya untuk ke kamar mandi. Ia harus segera mengosongkan kandung kemihnya, sebelum benda ini menyerah. Kalau itu terjadi, tentu hal itu sangat memalukan untuk seorang Anargya Ganendra Poernomo.

*

"Brengsek," rutuknya begitu melihat jam dinding di kamarnya.

Jam sudah menunjukkan pukul delapan lewat lima belas menit, yang berarti Arga sudah terlambat seperempat jam. Ia sudah bisa membayangkan omelan papa dan kakaknya, apabila mereka tahu dia terlambat dan mereka pasti jauh lebih murka, kalau mengetahui alasannya.

Cepat-cepat Arga mengancingkan kemejanya dan menyampirkan dasinya begitu saja di lehernya, lalu mengambil salah satu setelan jasnya dan buru- buru mengenakannya. Dipilihnya pinstripe suits berwarna abu-abu, yang dipadukan dengan kemeja biru muda dan dasi biru tua. Bukan Arga namanya kalau tidak tampil bergaya, bahkan ketika telat pun gaya tetap nomor satu.

Buru-buru disambarnya dompet, ponsel, serta kunci mobilnya dari gantungan. Ia bermaksud menuju dapur untuk meminum segelas kopi dan mungkin mengganjal perutnya sementara dengan selembar atau dua lembar roti gandum. Apapun yang ada di sana.

Lelaki itu langsung bisa mengenali sosok manusia yang dibencinya di rumahnya ini. Si miskin yang dipungut dari sampah oleh mamanya yang terlalu baik hati. Mamanya selalu bilang kalau dirinya hanya kasihan dengan si miskin, karena yatim piatu dan satu-satunya keluarga yang ia miliki tewas.

Kenangan itu masih membuatnya sedih hingga kini, adik kesayangannya, Lovenia Poernomo, turut menjadi korban dalam kecelakaan tersebut. Adiknya yang cantik, baik hati dan memiliki hati seluas samudra layaknya sang mama.

Sampai detik ini, ia sungguh tak percaya dengan alasan ibunya memasukkan si miskin ini ke rumahnya. Kenapa mesti harus memasukkan gadis itu ke rumah tinggal mereka, kenapa tidak dimasukkan saja ke sekolah berasrama dan kenapa ibunya begitu menyayangi gadis itu.

"Mas Arga, kata Mas Raka kalau sudah bangun disuruh buru-buru ke kantor." Si miskin itu berkata. Matanya yang kecil itu mengawasi Arga bak burung elang, seolah-olah bersiap-siap melaporkan kesalahannya pada kakaknya.

"Iya, bawel." Arga tak menghiraukan ucapan gadis itu. Segera diambilnya cangkir dan ia pun menuangkan secangkir kopi yang baru dibuat dari coffee
maker yang tersedia di dapur. Bayangan kalau dirinya akan diomeli Raka dan papanya sungguh membuatnya sebal. Ditambah lagi si melarat Erina yang numpang di rumahnya ini, pagi-pagi sudah merusak pemandangan dapur rumah keluarganya.

"Kata Mas Raka, disuruh cepet, Mas. Rapatnya jam setengah sepuluh," kata gadis itu lagi.

"Berisik, bawel bener sih jadi manusia. Urus-urusanmu sendiri." Arga menggebrak konter meja dapur. Tak ada seorang pun yang boleh memerintah Anargya Poernomo, apalagi perintah itu datang dari gadis melarat seperti dia. "Cuma numpang idup di rumah aja, belagu!"

Lelaki itu tidak peduli, apakah kata-katanya akan menyakiti hati Erina. Ia malah lebih suka kalau gadis berambut panjang itu segera angkat kaki dari rumah ini. Menyaksikan bukti perselingkuhan antara mama dan mantan kekasihnya tinggal di rumahnya adalah hal yang sangat memuakkan.

Mama selalu membantah hal tersebut, tapi tentu saja Arga tidak percaya akan kata-katanya. Sudah jelas-jelas Erina memiliki nama yang sama dengan mantan kekasih mamanya.

Arga menyipitkan mata memandang gadis itu dengan penuh kebencian, sambil mencerup kopinya. Entah kenapa seluruh keluarganya bisa dibodohi oleh kepolosan gadis itu, ia sungguh tak percaya kalau Erina hanya kebetulan memiliki nama yang sama dengan mantan kekasih ibunya.

"Mas, kalau masih punya waktu bengong sambil minum kopi, lebih baik cepat berangkat. Ditunggu Mas Raka dari tadi di kantor."

Gadis itu berbicara padanya tanpa menatap matanya, ia tetap menunduk sambil tetap membaca buku. Arga menggeretakkan giginya menahan amarah, entah mengapa Erina tahu bagaimana cara memancing amarahnya dengan cepat.

Akan tetapi dirinya tidak bisa memungkiri jasa Erina padanya yang selalu membantunya ketika pulang dalam keadaan mabuk. Oh dirinya bukan pemabuk, hanya kadang-kadang Arga suka kelepasan dan sesekali ia butuh untuk melepaskan tekanan.

Ponselnya bergetar di saku celananya, tidak butuh melihat ia tahu pasti Raka yang meneleponnya. Kakaknya itu pasti sudah kebakaran jenggot menunggunya datang ke kantor. Biar saja anak emas papanya itu yang menangani semuanya. Toh, Raka serba bisa dan sebetulnya tidak terlalu membutuhkan kehadiran Arga di sana, selain untuk disalah-salahkan dan dipandang sebagai apel busuk dalam keluarga. Ia berjanji pada dirinya sendiri, kelak dirinya akan berhasil dan membuktikan kepada Raka dan papanya bahwa dirinya layak dan memiliki andil dalam keberhasilan perusahaan.

"Mas Arga, disuruh Mas Raka cepetan siap-siap." Lagi-lagi si melarat itu berisik, merusak suasana hatinya.

"Apa sih maumu, Erina?" Arga membentak Erina, matanya menatap tajam.

"Mas Raka tanya Mas Arga dimana, katanya disuruh cepat bersiap." Akhirnya gadis itu mengangkat pandangannya dan menatap Arga tepat di mata dengan berani.

Ditatap seperti itu, kekesalan Arga makin menjadi-jadi. Lelaki itu membanting gelas kopinya sehingga menimbulkan bunyi nyaring ketika bertemu dengan meja konter yang terbuat dari marmer. Dengan langkah-langkah panjang, ia berjalan dengan cepat untuk mendekati Erina. Sorot matanya berkilat-kilat memandang gadis itu dengan penuh amarah. Arga berharap dengan ia melotot dan berjalan mendekat, Erina akan mencicit seperti tikus yang ketakutan. Akan tetapi, ia lupa bahwa gadis itu sudah terbiasa hidup dicekam ketakutan, dan seorang Arga yang marah adalah hal yang sangat biasa dihadapinya.

Erina malah menatap kakak tirinya dengan pandangan bosan, sambil bertopang dagu. Menunggu, apalagi yang akan diperbuat Arga untuk melalaikan tanggung jawabnya di kantor. Bukannya cepat-cepat berangkat, malah masig sempat minum kopi di dapur.

Dalam beberapa langkah, Arga sudah sampai di dekat Erina. Ia kemudian mengangkat tangan hendak meremas bibir mungil Erina, ketika tiba-tiba sebuah tangan mencengkeram pergelangan tangannya.

***&***

Waktunya kalian kenalan sama sosok Arga. Satu bab ini sudah bisa tahulah, ya, gimana Arga itu. Hohoo.

October, 23 2020; 10.12 a.m

Stay tuned,

Fii



Thank You, Erina!Where stories live. Discover now