Part 2. Morning War

612 80 2
                                    


***&***

Erina meringis kala sel sarafnya memberikan respons berupa nyeri di bagian perut bawah. Tangan kirinya lari memegang bagian tubuh tersebut.

"Pleaseee, jangan ...!" gumamnya monolog.

Ia terus mengayunkan kaki bersandal jepit dengan hak 2 centimeter ke arah kulkas empat pintu berwarna silver. Tiba menghadap benda yang belum genap setahun ada di dapur ini, jemari lentiknya meraih salah satu gelas kaca di sisi. Ia menggeser ke kiri dua langkah supaya dadanya benar-benar menghadap dispenser yang ada di salah satu bagian kulkas. Sambil mengisi gelas dengan cairan bening nan dingin, bayangan kopi favoritnya menari-nari. Dirinya tidak sabar menyeruput setiap tetes arabika itu. Ah! Ia masih kudu bersabar setidaknya sejam lagi.

Saat berbalik, sosok perempuan berpakaian kaftan hijau toska berjalan mendekat.

"Lo! Kukira Mama udah tidur," celetuk Erina sebelum duduk di salah satu kursi makan.

"Tidur-tidur ayam, terus haus dan lapar." Miranti menggoyang pelan botol tupperware bervolume 1 liter di tangan kiri.

Mata sipit gadis itu menyorotkan sebuah peringatan. "Ma ...?"

Miranti terkekeh halus. "Iya, iya, Mama nggak mau masak topmie kok."

Erina mengaliri tenggorokan dengan cairan segar itu sambil mendengarkan. Ia langsung menguras habis isi gelas, lalu mengusap bibirnya yang nampak agak pucat. Dalam hati, ia berdoa supaya Miranti tidak menyadari hal tersebut.

"Kamu masih belajar?"

"Iya, Ma. Besok ada pleno."

Yang Miranti pahami dari kata terakhir Erina itu adalah berupa kegiatan mempresentasikan hasil diskusi kelompok tentang sebuah kasus. Selebihnya, ia tidak tahu. Meskipun Erina kerap bercerita bagaimana tegang dan mendebarkannya kegiatan satu itu, ia sebatas setengah paham. Maklumlah! Riwayat pendidikannya pas-pasan.

Miranti mendekat dan mengusap atas kepala Erina. "Biar semangat, kamu mau dibikinin apa sama Mama besok pagi?" tanyanya lembut.

Erina menarik kedua sudut bibir ke atas. Setiap mendapat perhatian seperti ini, dirinya selalu bersyukur. Membuat kekesalan yang terkadang sampai mengundang pikiran-pikiran negatif saat Arga maupun Nenek memperlakukannya dengan tidak beretika terlupakan. Juga membuatnya menarik lagi kesadaran akan tujuan bertahan di sini, yaitu membanggakan Miranti.

"Alah! Udah gede masih aja dimanja. Keenakan!" Satu cibiran lantang terdengar dari arah ruang keluarga.

Erina menjadi sasaran lirikan tajam sosok perempuan berambut pendek dipenuhi uban itu.

Nenek menarik kursi di seberang Erina dan bertitah, "Kupasin aku apel!"

Kalau memintanya dengan nada baik-baik, sih, Erina dengan ringan hati menurut. Namun, mustahil jika itu adalah Nenek. Sejak pertama menginjakkan kaki di sini, Nenek belum pernah bersiap baik padanya. Maka, ia beranjak ke kulkas dengan hati ngedumel.

Sungguh! Bukannya Erina tidak ikhlas. Ia dengan senang hati mengupaskan buah berkulit kuning yang disebut golden delicious apple itu. Hanya saja ia tidak suka dengan cara bicara Nenek. Meskipun sejak usia lima belas tahun di sini, tetapi hatinya tetap tidak nyaman kala mendengarkan.

"Oke. Dia boleh tinggal di sini, tapi aku pnya satu syarat." Ucapan Nenek di hari pertamanya datang ke kediaman Poernomo kembali bergaung di telinga. Tidak luput aksi telunjuk yang menuding tepat ke wajah sayu plus polosnya kala itu.

Miranti balik badan. "Ah! Biar Miranti aja, Ma."

Sontak isi kepala Erina kembali ke saat ini sepenuhnya.

Thank You, Erina!Where stories live. Discover now