Part 6. Sleepy Head and Punishment

431 73 3
                                    

________________

Mata sipit Erina melebar penuh waspada. Bola matanya bergerak-gerak gelisah ke arah depan dan samping kanan bergantian. Tangan kanannya menggenggam hendel yang memang terpasang di atas kepala, sementara tangan sebelahnya lagi mencengkeram sisi pinggir jok hitam yang ia duduki. Bibir mungilnya yang terpoles gincu merah muda glossy bergerak-gerak bak merapalkan mantra dan umpatan bergantian. Membuat telinga orang yang berada di sebelahnya kehilangan fokus menyetir.

"Mas Arga, pelan-pelan! Aku nggak mau mati konyol bareng Mas begini!" teriaknya seraya menatap jalanan di depan dengan ngeri.

Arga menoleh padanya sepersekian detik dibarengi tatapan kesal. "Yang bikin aku nyetir begini siapa? Kamu, Udik!" sahutnya tidak kalah keras. Tangannya tetap sibuk mengendalikan setir, sedangkan kakinya menginjak pedal gas hingga membuat jarum spidometer berada di angka 120 KM/jam.

Perempuan ber-sweater kuning langsat dipadu celana chinos krim itu mendengkus. Dalam hati menggerutu atas panggilan tersebut. Selain si Miskin dan si Melarat, Udik juga Arga berikan untuknya. Hidup di keluarga Poernomo kan membuat penampilannya jadi jauh lebih baik. Arga memang menyebalkan tingkat langit ketujuh!

"Yang bikin kita kesiangan siapa?!" Erina melotot galak setelah menggerutu.

"Yang bangun paling siang siapa?!" Arga tidak mengalihkan tatapan pada jalan tol.

"Yang bikin aku tidur dini hari siapa?!" Erina dongkol setengah hidup. Pasalnya, semalam ia sudah akan memejamkan mata saat terdengar suara mobil Arga masuk gerbang. Seperti yang lalu-lalu, lelaki itu pulang dalam keadaan kesadaran ditelan alkohol.

"Yang dandan paling lama siapa?" tuding Arga implisit.

"Ya elah! Aku yakin, waktu buat aku dandan nggak selama teman-temannya Mas Arga yang suka ke kelab. Kalau nggak percaya, ayo, buktiin sendiri! Bandingin!" tantang Erina geram. Ia memang tidak doyan berhias diri. Mentok-mentok pakai eyeliner kalau sedang mood. Tadi pun ia sedikit lama karena coba menambal mata panda yang tercetak jelas. Bercermin membuatnya meragukan diri sendiri antara masih manusia atau zombi.

"Kalau bukan karena Papa, ogah aku nganterin!"

Erina tahu, lelaki di sampingnya itu memendam kesal sejak Poernomo mengeluarkan ultimatum pada Arga untuk mengantarnya. Memang, awalnya dibantah oleh Nenek, tetapi Poernomo berhasil memenangkan argumen. Ia yang mendegar dari anak tangga setuju pada sang papa, Arga harus membayar jerih payahnya semalam.

"Kalau bukan karena Mama, ogah aku ngurusin tukang mabuk!" balas Erina tidak kalah sengit.

Tidak sampai dua hitungan, jantungnya semakin belingsatan karena Arga memacu lebih mobil. Lelaki tersebut juga semakin memamerkan kelihaian menyalip setiap kendaraan yang ada di depan mereka. Jemarinya semakin erat melingkar di hendel karena hal yang dilakukan Arga membuat tubuhnya meliuk-liuk. Di tengah-tengah ketakutan, ia menyorot tajam Arga.

"Pelan-pelaaan, Capung!" Masa bodoh dengan sopan santun. Ia sudah sangat geram dengan Arga.

"Kalau aku telat masuk rapat, ini semua gara-gara kamu!" tuding Arga dengan aura tidak bersahabat.

Oh! Bukankah memang Arga selalu menampakkan aura seperti itu di hadapan Erina?

***&***

"Erina!" teriak seorang perempuan berambut long curl tidak terlalu lebat. Sosok itu berdiri di pojokan jalan setapak yang menghubungkan jalan utama dengan gedung fakultas Kedokteran. Tangan kiri melambai-lambai ke arahnya.

Thank You, Erina!Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ