Part 5. All Work No Play

434 74 2
                                    

kanaya55

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

kanaya55

___________

Lelaki itu bersandar di kursi kerjanya seraya menatap ke langit kota Jakarta yang makin lama makin abu-abu warnanya akibat polusi udara. Ruangannya terletak di lantai 7, Diamond Tower. Didominasi warna putih, hitam, dan coklat makin memperkuat kesan modern sekaligus maskulin yang ingin ditonjolkan oleh desainernya. Lantainya terbuat dari marmer kualitas terbaik berwarna abu-abu kecoklatan, dindingnya dilapisi dengan panel dinding bermotif serat kayu yang mengkilap menimbulkan kesan modern.

Sebuah meja kerja yang besar dengan motif senada panel dinding, dilengkapi dengan kursi bersandaran tinggi berwarna hitam yang terbuat dengan kulit asli di bagian dudukan dan sandaran. Di depannya terdapat dua kursi yang tak kalah bagus tapi lebih sederhana, digunakan untuk tamu atau staf yang datang menghadap. Di sisi kanan terdapat meja rapat, lengkap dengan sepuluh kursi, serta projector yang bisa di naik turunkan di langit-langit.

Laptopnya memperlihatkan desain interior gerai Etoile Cafe yang baru akan dibuka di Bali, beserta semua perhitungan keuangan berikut kebutuhan pegawai yang membuatnya sakit kepala. Etoile brand asal Korea ini diharapkan bisa menyaingi franchise kopi kekinian asal Amerika yang sudah lebih dulu masuk ke Indonesia. Apalagi dengan demam K-pop dan K-Drama sekarang ini, diharapkan menarik minat anak muda kalangan menengah ke atas untuk mendatangi cafe tersebut.

Ia sungguh tak mengerti mengapa Raka menyuruhnya mengecek dan melihat ini berulang kali, dia yakin seluruh staf dan manajer Research and Development sudah menghitung semua biaya yang diperlukan, serta market share. Biaya utilitas, biaya tetap, biaya lain-lain, serta hal-hal yang membuatnya sakit kepala. Hanya gara-gara satu kesalahan di masa lalu, ketika dia asal tunjuk salah satu vendor penyedia untuk kelengkapan Etoile, kemudian vendor tersebut terbukti tidak mampu menyediakan. Hal tersebut mengakibatkan mundurnya pembukaan gerai Etoile yang pertama hingga sebulan. Tentu saja hal tersebut membuat Raka murka dan ayahnya mengomel selama sebulan. Untung saja kemudian manajer operasional bisa menemukan vendor lain yang bisa mengerjakan pesanan mereka dalam waktu singkat, hal ini kemudian menyebabkan peningkatan di faktor biaya yang lagi-lagi menyebabkan keributan di lingkungan Board Of Directors. Akan tetapi Raka tidak akan mendapatkan julukan Mr. Perfect kalau tidak bisa menyelesaikan masalah seperti itu dengan baik.

"Sebagai General Manager bagian R&D kamu itu mesti paham, apa yang dikerjakan sama timmu. Bukan kita tak percaya dengan kinerja mereka, tapi kamu tetap perlu tahu dengan apa yang mereka kerjakan." Raka mengatakannya sambil mondar mandir di ruangannya di lantai 10." Selain biar kamu nggak dibohongi, kamu juga menunjukkan kepedulianmu sebagai pemimpin." Matanya menatap tajam kepada adik lelaki satu-satunya yang mulai menguap.

Wajah Arga langsung berubah muram begitu mengingat omelan kakaknya. Ia tahu kakaknya benar. Hanya saja karena yang menyampaikan Raka, hal itu jadi terdengar sangat menyebalkan. Sekali lagi Raka mempelajari beberapa pilihan lokasi yang ditawarkan oleh team R&D, diantaranya Kuta Beachwalk dan Seminyak Village. Lelaki itu kemudian menyugar rambut tebalnya dan berdiri dari kursinya, menuju lemari kecil yang terletak di bagian bawah rak buku. Disitu terdapat sebuah kulkas, dan lemari tempat Arga menyimpan beberapa minuman keras, serta cemilan. Ia mengambil minuman dingin dan mulai membuka kalengnya
Sudah dua hari berturut-turut dirinya pulang dalam keadaan mabuk, jangan sampai ia melakukan hal yang sama lagi hari ini kalau tidak ingin diceramahi oleh Papa dan Raka.

Tadi pagi, ia melihat Raka mengantar si melarat itu ke kampus. Bahkan menolong gadis itu berdiri ketika terpeleset tadi di dapur. Ia mendengar keributan itu dari tangga dan tertawa dalam hati ketika Erina terjatuh, hanya untuk cemberut lagi melihat Raka menolongnya.

Menurutnya rasa sayang Raka terhadap gadis melarat itu sungguh menggelikan. Bahkan sepertinya ketika Love masih hidup, kakaknya itu tidak pernah sebegitu perhatiannya, tak seperti ketika dengan Erina sekarang. Kakaknya yang begitu serius dan dingin, tiba-tiba menjadi seseorang yang begitu hangat dan perhatian ketika berhadapan dengan si musang berbulu domba itu. Bahkan dari nada suaranya ketika mengangkat panggilan telepon, Arga bisa tahu bahwa Erina yang menelepon hanya dari nada bicara Raka.

"Jangan-jangan Raka suka sama Erina," katanya dalam hati. "Kalau iya, sungguh selera Raka jelek sekali. Dari semua perempuan yang ada di muka bumi ini, kenapa harus Erina."

Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore, Arga mengambil bir dingin dari kulkasnya kemudian menempelkan kaleng itu ke dahinya. Dinginnya terasa menyegarkan dan mendinginkan otaknya yang terasa panas. Ia memutuskan untuk meminum bir tersebut di perjalanan, percayalah sekaleng bir tidak akan membuat dirinya mabuk.

Arga mematikan laptop dan merapikan kabel charger, kemudian memasukkannya ke dalam tas. Di luar dugaan semua orang, lelaki itu sangat rapi dalam urusan penyimpanan barang-barang. Ia bahkan memiliki tempat pensil yang isinya lengkap dengan berbagai macam alat tulis kantor, berbentuk hard case yang lebih mirip dengan tempat hard disk. Setelah memastikan semua barang-barang sudah masuk ke dalam tas ranselnya, Arga segera mematikan PC All in one nya dan keluar ruangan. Ia mengangguk kepada sekretarisnya dan berjalan meninggalkan ruangan menuju basement.

Mobil Raka masih berada di tempatnya, kakaknya yang all work no play itu betah sekali di kantor. Arga menempelkan jempolnya di pegangan pintu supir dan Pajero sportnya berbunyi klik nyaring tanda kunci sudah terbuka. Sumpah, teknologi seperti ini yang dia suka, tidak perlu repot-repot mengeluarkan kunci mobil dari tempatnya. Wajahnya muram, mengingat niatnya menipu Erina dengan berpura-pura mabuk, malah membuatnya harus kehilangan kunci utamanya. Ia tahu Erina menyembunyikannya, hanya saja egonya yang besar, membuat dirinya malas meminta kunci mobilnya kembali. Sesungguhnya ia suka membuat repot gadis itu dan menimbulkan ekspresi kesal di wajah bulat tersebut, sehingga rela berpura-pura mabuk hanya supaya Erina terpaksa mengurusnya.

Ketika sudah duduk di balik kemudi, tiba-tiba ponselnya bergetar.

"Apa, Mas?" tanya Arga ketus. 'Jangan sampai ngasi kerjaan,' batinnya dalam hati.

"Tolong jemput Mama dan Erina di mal, Pak Mail tadi buru-buru pulang karena istrinya sakit." Ternyata Raka memerintahkannya untuk melakukan hal-hal remeh lagi. Kalau menjemput Mama tak apa, tapi kalau dengan Erina lain soal.

"Emang nggak ada driver lain yang bisa? Suruh naik taksi online aja sih." Arga sungguh malas harus menghadapi Erina.

"Kamu tega nyuruh mama naik taksi online, lagian jarak kantor kita sama mal kan cuma 30 menit. Biar mereka nggak nunggu lama. Lagian kamu pasti sudah mau pulang kan? " tebak Raka.

Karena malas berdebat, akhirnya Arga menyetujui permintaan kakaknya. Ia segera menelepon mamanya untuk bertanya mau dijemput di pintu masuk mana.

Setelah sampai di pintu mal yang dimaksud, Arga meminggirkan mobilnya dan turun untuk membantu Mama dan Erina memasukkan barang ke mobil. "Heh, duduk depan kamu. Emangnya aku supir kamu," sergahnya ketika Erina mau duduk di jok tengah bersama Mama.

"Loh kirain nggak mau duduk sebelahan sama aku, makanya aku mau duduk di sebelah mama aja." Erina berkata tak kalah ketus.

Sepanjang perjalanan Arga dengan kaku mengabaikan Erina, sampai kemudian gadis itu berkata. "Mama, aku kemarin sembunyiin...."

Belum sempat Erina menyelesaikan kalimatnya, Arga keburu membekap mulutnya dengan tangan kirinya yang bebas. Untung saja mobilnya bertransmisi otomatis, sehingga tangan kirinya bisa berguna banyak, termasuk mencegah Erina mengadu tentang kejadian sore kemarin. Sungguh gadis ini kadang benar-benar tak tahu, kapan saatnya menutup mulut.

***&***
October, 28 2020; 08.05 a.m

Gomawooo,
Fii

Thank You, Erina!Where stories live. Discover now